Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menemukan adanya tindakan politik uang selama pelaksanaan kampanye terbuka yang dimulai sejak 24 Maret sampai 13 April 2019. Salah satu politik uang itu modusnya diberikan dengan alasan sebagai uang pengganti transportasi.
Sekretaris Jenderal KIPP, Kaka Suminta, mengatakan pihaknya telah melakukan pemantauan pelaksanaan kampanye terbuka di 28 provinsi. Hasilnya, beberapa penyelenggaraan pada kampanye terbuka itu tercoreng dengan aksi politik uang yang diberikan di lokasi atau luar arena kampanye.
“Politik uang atau pemberian hadiah terjadi di arena kampanye dan di luar arena dengan dalih uang transpor. Ini terjadi dalam kampanye terbuka,” kata Kaka di Jakarta pada Rabu (27/3).
Menurut Kaka, aksi politik uang pada saat kampanye terbuka menjadi sorotan pihaknya. Pasalnya, aksi politik uang memiliki daya rusak yang luar biasa. Juga menurut Kaka, bahaya lainnya adalah merusak preferensi elektoral, serta menjadikan cacat representasi politik yang pada akhirnya membuat cacat setiap lahirnya kebijakan publik.
Terkait adanya temuan politik uang, Kaka mengatakan, pihaknya telah melaporkan hal tersebut kepada Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu. Tak hanya politik uang, kata Kaka, pihaknya juga menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh peserta kampanye terbuka yang berasal dari aparatur sipil Negara (ASN), pelibatan anak-anak, dan massa yang melintas daerah pemilihan atau dapil.
Selain itu, KIPP juga bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi jalannya kampanye terbuka.
“Kami gandeng kedua lembaga tersebut untuk memantau anggaran negara dan lembaga Negara. Ini untuk mencegah politik uang. Jadi, dari hulu ke hilir semua diawasi," katanya.
Kaka menjelaskan, maraknya politik uang terjadi di berbagai daerah. Namun demikian, hulunya berada di Jakarta karena besar kemungkinan digelontorkan dari DPR.
"Ternyata politik uang itu hulunya di Jakarta. Jadi, misalnya untuk dapil di daerah caleg DPR RI bisa gunakan anggaran pusat," katanya.
Kaka mencontohkan, kasus suap yang terjadi pada mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy, misalnya. Kasus suap tersebut, meski terjadi di Jawa Timur, namun kontrolnya tetap ada di Jakarta.