close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pengusaha muda asal Surabaya sekaligus politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Tom Liwafa. /Foto Instagram @tomliwafa
icon caption
Pengusaha muda asal Surabaya sekaligus politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Tom Liwafa. /Foto Instagram @tomliwafa
Pemilu
Senin, 17 Juni 2024 17:14

Di balik menjamurnya crazy rich di bursa kandidat Pilkada 2024

Bursa kandidat kepala daerah diramaikan kehadiran para pengusaha tajir melintir alias crazy rich.
swipe

Kalangan pengusaha tajir melintir alias crazy rich mulai meramaikan bursa kandidat Pilkada Serentak 2024. Sebagian crazy rich sudah mengantongi tiket dari parpol penghuni parlemen lokal. Ada pula yang masih mencari kendaraan politik untuk maju. Tak hanya di tingkat kabupaten dan kota, kursi gubernur pun dibidik. 

Di Jawa Tengah, misalnya, pengusaha real estate Joko Suranto sudah mengambil formulir pendaftaran bakal calon gubernur Jawa Tengah di kantor DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Sejak beberapa pekan lalu, baliho Suranto sudah bertebaran di sejumlah titik di Semarang dan Grobogan. 

Suranto ialah pemilik Buana Kassiti Group. Bukan orang politik, Suranto sempat menghebohkan publik karena rela merogoh uang senilai Rp2,8 miliar dari kantong pribadi untuk memperbaiki jalan rusak di kampungnya di Grobogan, Jawa Tengah. 

Di Karawang, Jawa Barat, Aep Syaepuloh sudah mengantongi dukungan dari Gerindra dan NasDem untuk melanjutkan kepemimpinannya sebagai Bupati Karawang. Sebelumnya, Aep merupakan pendamping Cellica Nurrachadiana, Bupati Karawang yang diusung Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), NasDem, dan Golkar pada Pilkada 2020.

Sejak 2023, Aep jadi orang nomor 1 di Karawang setelah Cellica mengundurkan diri lantaran maju menjadi calon legislatif (caleg) DPR RI pada Pemilu 2024. Sebelum terjun ke dunia politik dan birokrasi, Aep dikenal sebagai pengusaha jasa konstruksi yang punya harta hingga Rp400 miliar. 

Figur crazy rich juga muncul di bursa kandidat pilkada sejumlah daerah lainnya. Di Blitar, sosok pengusaha Becky Hendriansyah atau yang akrab di panggil Haji Beky digadang bakal maju jadi calon bupati, sedangkan di Surabaya sudah ada nama pengusaha muda Arizal Tom Liwafa yang meramaikan bursa kandidat. 

Tom ialah caleg DPR RI terpilih dari Partai Amanat Nasional (PAN) mewakili dapil Surabaya-Sidoarjo. Di media sosial, foto Tom bersama Ahmad Dhani sempat viral. Dipasangkan berdampingan dengan pasangang kandidat lainnya, keduanya diisukan tengah disiapkan maju sebagai calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya. 

Di Cilegon, pengusaha tajir sekaligus politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Dede Rohana Putra sudah menyatakan kesiapan untuk maju. Menurut catatan LHKPN pada 2022, Dede punya kekayaan hingga Rp67 miliar. Saat ini, Dede menjabat sebagai Sekretaris Komisi V DPRD Provinsi Banten. 

Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah mengaku tak heran banyak pengusaha tajir yang di-endorse parpol untuk maju jadi calon kepala daerah. Salah satu faktor yang mendorong maraknya fenomena itu ialah mahalnya biaya politik untuk memenangkan kontestasi pilkada. 

"Selain faktor modalitas politik dan modalitas sosial. Belakangan fenomena yang terjadi modalitas finansial yang menentukan. Hal ini juga didukung permisifnya sifat masyarakat dengan politik uang. Sistem pemilu kita itu juga membuka pintu itu," ucap Fitriyah kepada Alinea.id, Sabtu (15/6).

Saat ini, menurut Fitriyah, kader parpol atau calon kepada daerah yang punya modal sosial atau modal politik kerap kalah saat bersaing dengan figur yang memiliki modal finansial. Di lain sisi, kalangan pengusaha tajir juga mengincar kursi kepala daerah demi memperluas jaringan bisnis, menambah akses ke simpul-simpul perekonomian, atau mengamankan usaha mereka. 

"Zaman dulu pengusaha itu di luar mereka menjadi supporting dana. Tapi sekarang mereka masuk. Walhasil, partai menjadi kendaraan politik bagi kalangan yang mengandalkan modal finansial ini. Faktor ekonomi itu lebih fleksibel. Hari ini kamu (kandidat) maju, langsung bisa. Dengan uang, dia bisa meng-hire konsultan, membangun citra, dan memberi upeti pada partai," jelas Fitriyah. 

Meskipun tak dilarang, menurut Fitriyah, mengusung kandidat dari kalangan crazy rich potensial beragam risiko bagi parpol. Para kandidat, misalnya, tak kompeten menjalankan pemerintahan saat terpilih. Parpol dan kandidat juga bisa pecah kongsi di tengah jalan karena tak adanya ikatan politik yang kuat antara keduanya. 

Fitriyah menyarankan agar para kandidat dari eksternal menjalani pelatihan dulu di parpol sebelum diterjunkan di pentas pilkada. Dengan begitu, nilai-nilai dan visi-misi parpol dipahami para kandidat. Jika memang tidak cocok, tak seharusnya parpol meng-endorse crazy rich hanya demi menyunat biaya politik. 

"Kalau memang calon-calon ini tidak cocok dengan partai dan hanya ingin menjadikan partai sebagai kendaraan, lebih baik (didorong) maju melalui jalur perseorangan saja," ucap Fitriyah.

Analis politik dari Universitas Medan Area, Khairunnisa Lubis sepakat fenomena bertaburnya kalangan crazy rich di bursa kandidat pilkada tak lain karena mahalnya ongkos kontestasi politik. Parpol-parpol umumnya tidak akan mampu membiayai pencalonan kader, terutama dalam pertarungan politik uang. 

"Belakangan ini, sepertinya trennya melonjak tinggi. Kenapa crazy rich pada tertarik (jadi kepala daerah)? Mungkin, beberapa ada yang terpanggil untuk memperbaiki kondisi, mungkin juga terpanggil untuk memperluas jaringan demi keuntungan pihak tertentu," ucap Nisa, sapaan Khairunnisa, kepada Alinea.id, Sabtu (15/6).

Meskipun meminang crazy rich demi alasan pragmatis, Nisa berpandangan parpol tidak boleh lepas tanggung jawab dan memberikan bekal kemapuan mengelola birokrasi dan tata kelola daerah kepada para kandidat. Menurut dia, melatih kader atau individu menjadi kepala daerah yang andal dalam tata kelola pemerintahan tidak bisa dilakukan secara instan.  

"Jika memang ingin tulus berkontribusi pada penyelenggaraan pemerintahan, para crazy rich semestinya direkrut sejak dini oleh partai yang ingin meminang atau dipinang oleh para crazy rich itu sendiri. Edukasi politik tidak bisa didapat hanya dengan duduk dan telpon dan terima telpon, tapi harus terjun langsung di masyarakat," kata Nisa. 

Senada, Direktur Riset Indonesia Presidential Studies (IPS) Arman Salam mengatakan kalangan crazy rich dibidik jadi kandidat lantaran parpol ketakutan kalah dalam perang politik uang. Ia berkaca pada kontestasi Pilpres 2024 dan Pileg 2024 yang menunjukan politik uang jadi penentu kemenangan. 

"Aura yang terbangun pileg, pilpres kemarin adalah aura sebenar-benarnya pesta yang bertabur uang dan sembako. Entah ini adalah fenomena atas perilaku politik gen Z yang bisa dikatakan mengalami frustasi politik atau memang kondisi yang dirancang secara terstruktur dan masif. Itu yang menyebabkan partai mulai lebih berat mempertimbangkan isi tas dibanding kapasitas," ucap Arman. 

Meski di tengah keterbatasan, menurut Arman, seleksi ketat calon kepala daerah harus tetap dijalankan oleh parpol. Kader-kader yang telah berkeringat membesarkan parpol harus jadi pilihan utama. Kekuatan finansial tak terbatas bukan jaminan utama kemenangan kandidat. 

"Memang tidak melulu yang berkantong tebal pasti akan menang. Tentunya masih ada pengaruh kapasitas figur yang menjadi variabel penentu, namun hitungan-hitungan isi tas kini agak besar bobotnya akibat pileg kemarin," ucap Arman. 
 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan