close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi politik uang. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi politik uang. /Foto Antara
Pemilu
Jumat, 08 Desember 2023 06:30

Yang muda, yang rentan terpapar politik uang

Kaum milenial dan gen Z cenderung permisif terhadap politik uang. Edukasi politik terus-menerus dibutuhkan.
swipe

Tiga bulan jelang pencoblosan Pilpres 2024, Rori, bukan nama sebenarnya, belum juga punya kandidat capres-cawapres yang bakal ia pilih. Pemuda berusia 23 tahun itu mengaku masih wait and see. Selain tawaran program, Rori juga berharap bakal ada insentif untuk memilih salah satu pasangan kandidat. 

"Yang konkret ajalah. Kalau dapet duit kalau milih, kan lumayan. Duitnya juga kan katanya duit rakyat. Mumpung masih nganggur," kata warga Jalan Jomas, Kembangan, Jakarta Barat itu, saat berbincang dengan Alinea.id, belum lama ini. 

Rori baru lulus kuliah dari sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia belajar teknik komputer. Sudah lebih dari enam bulan, ia tak kunjung mendapat pekerjaan. 

Nama Rori sudah terdaftar sebagai calon pemilih di Pemilu 2024. Pada 2019, Rori juga nyoblos sebagai pemilih pemula. Ia mengaku ketika itu tak sempat merasakan "serangan fajar." 

"Tetangga sih katanya ada yang dapet. Tapi, gue enggak tau siapa yang bagi-bagi. Ya, kalau ada, ngapain ditolak? Soal milihnya sesuai atau enggak, nanti kan terserah kita di kotak suara. Yang pasti, gue nunggu debat dulu deh," ujar Rori. 

Perhatian Rori hanya tertuju pada pentas Pilpres 2024. Ia tahu siapa Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ia mengaku tak familiar dengan caleg-caleg DPR di dapilnya. "Tapi, kalau ada (caleg) yang datang, terus nawarin (duit), ya kita bisa aja kita 'bantu' kan," terang Rori. 

Komisioner Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan anak muda dan mahasiswa saat ini jadi target politik uang dari para kandidat, baik itu di pentas pileg maupun di pentas pileg. Karena itu, kaum muda harus dibekali literasi yang baik mengenai pemilu. 

"Adek-adek sekalian, kalian adalah orang-orang yang rentan menerima politik uang. Gunakan kesempatan ini (masa kampanye) untuk menyerap informasi sebanyak-banyaknya supaya calon yang kalian pilih nantinya tidak hanya karena ikut-ikutan," cetus Lolly. 

Agustus lalu, Bawaslu sudah meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan (IKP) tematik mengenai isu politik uang. Politik uang terutama paling rawan terjadi di  Maluku Utara dengan skor 100, Lampung (55,56), Jawa Barat (50), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara dengan (38,89). 

Berkaca dari pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, Bawaslu menemukan modus politik uang terbagi dalam beberapa bentuk, yakni memberikan langsung, memberikan barang, dan memberikan janji. "Modus memberi langsung itu berupa pembagian uang, voucher atau uang digital dengan imbalan memilih," kata Lolly. 

Mengutip riset yang dilakoni Andrew Garner dari University of Wyoming Amerika Serikat, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amelia membenarkan kaum muda rentan terpapar politik uang. Selain kaum muda, perempuan juga jadi target para praktisi politik uang di pemilu. 

Dalam risetnya, Andrew meneliti tingkah laku politik 1.012 pemilih di Semarang, Jawa Tengah. Sejumlah variabel diteliti, yakni tingkat pendidikan, pendapatan, usia, gender, kontak dengan tim kampanye, dan akses kepada informasi. 

"Hasil riset itu menunjukkan bahwa perempuan dan kaum muda cenderung lebih permisif terhadap vote buying. Yang membentuk karakter mereka permisif pada politik uang ialah variabel pendidikan dan penghasilan," kata Nurul kepada Alinea.id. 

Rendahnya penghasilan seseorang jadi salah satu faktor yang paling berpengaruh. Menurut Nurul, orang yang penghasilannya rendah cenderung menganggap wajar politik uang meskipun punya tingkat pendidikan yang tinggi. 

"Pemilih berpenghasilan menengah dan tinggi, mereka cenderung menolak uang karena mereka tidak membutuhkan. Pemilih dengan tingkat penghasilan rendah, setinggi apa pun pendidikannya, akan menerima uang dari tim kampanye kandidat. Bedanya, pemilih berpenghasilan rendah dengan pendidikan tinggi itu akan memilih kandidat yang dikehendaki hati nuraninya," ucap Nurul.

Nurul sepakat perlu ada edukasi politik yang masif di kalangan anak muda untuk membendung penetrasi politik uang jelang Pemilu 2024. Ia mengusulkan agar penyelenggara pemilu rutin menyebarluaskan konten-konten edukatif di media sosial. "Sumber informasi utama pemilih muda adalah dari media sosial," jelasnya. 

Cenderung permisif

Pakar komunikasi politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Suko Widodo menilai wajar jika kaum muda dianggap rentan terpapar politik uang jelang Pemilu 2024. Situasi itu erat kaitannya dengan karakter mereka yang cenderung permisif. 

"Karena longgarnya aturan dan etika sosial. Apakah mereka rentan politik uang? Bisa jadi, iya karena menganggap praktik money politic dianggap ikhwal biasa dan dicontohkan generasi sebelumnya. Tetapi, butuh riset untuk mengungkap ini," ucap Suko kepada Alinea.id, Selasa (5/12).

Suko menduga praktik-praktif politik uang bakal masif menyasar kaum muda di Pemilu 2024. Pasalnya, mayoritas pemilih saat ini berasal dari kalangan milenial dan gen Z. "Konfigurasi politik saat ini yang memang menjadikan pemilih muda sebagai sasaran kunci kemenangan," imbuhnya.  

Meningkatkan literasi politik, kata Suko, bisa jadi strategi untuk "memagari" generasi muda dari politik uang. "Harus ada pencerahan secara massif terhadap politik uang. Para rohaniawan perlu dihadirkan untuk menyatakan pesan tersebut," kata Suko. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan