Pileg 2024: Yang tumbang dan yang menang di tiga dapil neraka DKI
Peta elektoral Pileg 2024 di tiga daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta cenderung dinamis. Calon anggota legislatif (caleg) petahana tak dominan memenangi kontestasi elektoral di dapil-dapil yang tergolong "neraka" itu. Caleg pendatang baru bahkan mampu menumbangkan petahana yang sudah dua atau tiga periode berkantor di Senayan.
Di dapil DKI Jakarta II, misalnya. Eriko Sotarduga dan Masinton Pasaribu, dua caleg petahana dari PDI-Perjuangan, potensial terdepak dari Gedung DPR. Berbasis hasil rapat pleno rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Jumat (8/3), Masinton berada di peringkat 9 dengan raihan 44.243 suara, sedangkan Eriko bercokol di peringkat 10 dengan perolehan 40.880 suara.
Berturut-turut, posisi delapan besar dikuasai Hidayat Nur Wahid dari PKS (205.545 suara), Himmatul Aliyah dari Gerindra (68.445), Abraham Sridjaja dari Golkar (60.906), Ida Fauziah dari PKB (60.180), Kurniasih Mufidayati dari PKS (56.982), Melani Leimena dari Demokrat (53.763), Once Mekel dari PDI-P (47.896), dan Uya Kuya dari PAN (46.326).
Eriko sudah tiga periode berkantor di DPR, sedangkan Masinton sudah dua periode memenangi kontestasi dari dapil yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri itu. Berbasis model penghitungan suara Sainte Lague dengan total kuota hanya 7 kursi, keduanya kemungkinan bakal digeser oleh Once Mekel, rekan separtai mereka di PDI-P.
Selain Once, pendatang baru di dapil DKI II ialah Uya dan Abraham. Bagi Ida, dapil DKI II juga tergolong baru. Sebelumnya jadi Menteri Tenaga Kerja (Menaker) periode 2019-2024, Ida langganan berkantor di Gedung DPR RI. Sejak 1999 hingga 2014, Ida maju dari dapil-dapil di Jawa Timur dan lolos ke Senayan.
Berbeda dengan dapil DKI II, caleg petahana relatif dominan di dapil DKI I. Tercatat hanya Hasbiallah Ilyas dari PKB yang potensial lolos ke Senayan dengan menyandang status pendatang baru di dapil itu. Ilyas memperoleh 80.895 suara dan bercokol di posisi ke-5. Dengan total kuota 6 kursi DPR RI, mantan anggota DPRD DKI itu kemungkinan bakal terpilih.
Adapun posisi tiga besar dikuasai Mardani Ali Sera dari PKS dengan raupan 176.584 suara, Putra Nababan dari PDI-P dengan 105.559 suara, dan Habiburokhman dari Gerindra dengan 96.914 suara. Sisa suara di dapil relatif terbagi merata kepada para caleg petahana lainnya, semisal Eko Hendro Purnomo (PAN), Sondang Tampubolon (PDI-P) dan Ahmad Ali (NasDem).
Dapil DKI I hanya meliputi Jakarta Timur dengan estimasi jumlah pemilih sebesar 2.383.972 orang pada Pemilu 2024. Berbasis hitungan KPU DKI Jakarta, PKS keluar sebagai parpol pemenang di dapil tersebut dengan raupan 390.441 suara, menggeser PDI-P yang memperoleh total 343.789 suara.
Di dapil DKI III, wajah-wajah baru justru mendominasi. Grace Natalie dari PSI memperoleh 193.478 suara atau terbanyak di dapil yang meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu tersebut. Sayangnya, perolehan suara Grace bakal terbuang sia-sia lantaran PSI tak lolos ambang batas parlemen. Posisi kedua ditempati Erwin Aksa dari Golkar yang meraup 186.897 suara. Grace dan Erwin bukan dari kalangan petahana.
Posisi ketiga hingga keenam dikuasai kalangan petahana, yakni Ahmad Sahroni dari NasDem (163.269), Charles Honoris dari PDI-P (97.016), Adang Daradjatun dari PKS (95.773), dan Darmadi Durianto dari PDI-P (95.553). Posisi ketujuh hingga kesepuluh kembali dikuasai caleg pendatang baru, yakni Erni Yusfa (PKS), Rahayu Saraswati (Gerindra), Sigit Purnomo (PAN), Ahmed Zaki Iskandar (Golkar).
Untuk raihan suara parpol di pentas Pileg 2024, PDI-P masih mendominasi dapil DKI II dengan perolehan 386.980 suara, diekor PKS (322.200 suara), Golkar (313.619 suara), PSI (305.291 suara), NasDem (239.287 suara), Gerindra (227.033 suara), Demokrat (133.307), dan PAN (130.179 suara).
Pemilih rasional
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana menyebut peta elektoral di dapil-dapil DKI memang cenderung selalu dinamis. Berbasis hasil pileg-pileg sebelumnya, petahana masih mungkin ditumbangkan oleh pendatang baru. Itu karena karakter pemilih di ibu kota yang rasional.
"Pemilih di Jakarta ini dicirikan dari tiga hal. Pemilih di Jakarta itu adalah pemilih yang mandiri, kalkulatif, dan rasional. Mereka tidak seperti pemilih yang patron-klien seperti di Papua. Mereka cenderung menghitung untung-rugi dalam memilih dan juga sangat rasional," kata Asep kepada Alinea.id, Minggu (10/3).
Pemilih di DKI, menurut Asep, selalu berharap ada perubahan nasib pascapemilu. Karena itu, para pemilih selalu mencermati kinerja anggota DPR di Senayan. Jika kinerja seorang legislator dianggap buruk, konstituen bakal "menghukum" dengan tak lagi memilih legislator tersebut.
"Pemilih di Jakarta itu selalu ingin memperbarui harapan. Pemilu tu adalah salah satu penentu hidup mereka menjadi lebih baik. Nah, ini berimplikasi pada kinerja caleg. Caleg itu diharapkan punya prestasi kerja, menyapa mereka, dan membantu mereka. Kalau tidak bisa, sulit untuk menang," kata Asep.
Faktor lainnya, kata Asep, ialah model kampanye. Banyak caleg petahana yang hanya turun gunung jelang pemilu dan mengandalkan politik uang untuk mengamankan kursi mereka. Model serangan fajar semacam itu dianggap tak lagi laku di dapil-dapil DKI.
"Caleg petahana itu, saya temukan, kurang inovatif. Sebagai contoh, Masinton (Pasaribu). Beberapa hari menjelang pencoblosan, dia bagi-bagi beras. Sebagai caleg, dia kehilangan jiwa inovatifnya. Pemilih di Jakarta itu kalau bisa itu harus didatangi agak lama, pengunjung disapa (saat kampanye), dan (diajak) ikut kegiatan," kata Asep.
Meski begitu, menurut Asep, ada pula caleg petahana yang sangat kuat di dapil dan sulit digeser pendatang baru. Selain karena populer hingga tingkat akar rumput, model kampanye mereka juga mengikuti perkembangan zaman.
"Mereka yang lolos rata-rata memperhitungkan (karakter pemilih). sejak lama, dia (caleg) bikin inovasi-inovasi kampanye. Bagi petahana yang sulit digeser, dia itu berarti sangat kuat dan berpengaruh," jelas Asep.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan menilai dinamika elektoral di DKI Jakarta sangat dipengaruhi rasionalitas pemilih dan kedekatan antara caleg dan para pemilih.
"Bagi petahana, sejauh mana ia mampu merawat konstituennya dan menambah pemilih baru. Tarik-menarik antar kontestan relatif ketat, sehingga selisihnya tipis (antara petahana yang menang dan pendatang baru)," ucap Bakir kepada Alinea.id.
Caleg pendatang baru yang bertarung di dapil-dapil DKI Jakarta, menurut Bakir, relatif lebih trengginas dalam mendekati pemilih ketimbang para petahana. Sebagai contoh, masifnya baliho politikus PSI Grace Natalie di Jakarta Barat dan Jakarta Utara jelang pencoblosan.
"Sebagai pemain baru, mereka berhadapan dengan petahana yang sudah punya modal elektoral kuat sebelumnya. Mereka (harus bekerja keras) supaya hasilnya maksimal dan menjadi pesaing ketat petahana," kata Bakir.