close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue di Banda Aceh selamat oleh tsunami pada 2004./Foto wikipedia.org
icon caption
Masjid Baiturrahim Ulee Lheue di Banda Aceh selamat oleh tsunami pada 2004./Foto wikipedia.org
Peristiwa
Jumat, 27 Desember 2024 15:56

20 tahun tsunami Aceh, apa yang bisa dipelajari dari bencana itu?

Dua dasawarsa berlalu, bagaimana kita memitigasi bencana tsunami?
swipe

Pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, gempa bumi 9,1 skala Richter di lepas pantai barat Aceh. Gempa itu memicu tsunami besar, yang menghancurkan provinsi itu. Imbas gempa dan tsunami itu memengaruhi garis pantai di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Afrika. Lebih dari 227.000 orang tewas. Di Aceh, sekitar 167.000 orang menjadi korban.

Di mana saja wilayah yang berisiko tsunami?

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, tsunami bisa terjadi di semua samudera di dunia, laut pedalaman, dan perairan yang luas. Wilayah yang berpotensi tersapu tsunami, menurut NOAA, antara lain 78% Samudera Pasifik (sekitar cincin api yang aktif secara geologis), 9% Samudera Atlantik dan Laut Karibia, 6% Laut Mediterania, 5% Samudera Hindia, dan 1% laut lainnya.

Persentase tertinggi tsunami terjadi di lepas pantai Jepang (20%), Rusia (8%), dan Indonesia (8%). Tsunami jauh yang paling signifikan sejak 1900 berasal dari Alaska, Chili, Jepang, Pakistan, Rusia, dan Indonesia.

Menurut peneliti dari Kelompok Penelitian Geofisika Global Institut Teknologi Bandung (ITB) Zulfakriza. Z dalam tulisannya di The Conversation, Indonesia rawan bencana karena terletak di zona tektonik aktif, tempat bertemunya empat lempeng utama, yakni Indo-Australia, Eurasia, Pasifik, dan Filipina, yang mengalami pergerakan konvergensi.

Pergeseran dua lempeng tektonik di Samudera Hindia, tulis Zulfakriza, mengakibatkan patahan dorong, yang menyebabkan gempa bumi di Aceh pada 2004. Patahan itu membentang sekitar 500 kilometer, dengan lebar sekitar 150 kilometer. Dikenal sebagai gempa bumi megathrust, lempeng itu bergeser lebih dari 20 meter, melepaskan energi yang sangat besar dan menyebabkan gelombang tsunami setinggi 35 meter.

Zulfakriza menyebut, Indonesia juga punya beberapa zona megathrust—wilayah di sepanjang batas lempeng tektonik yang rentan memunculkan gempa bumi besar. Terdapat 13 zona megathrust yang teridentifikasi di dekat perairan lepas pantai Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian utara, Halmahera, dan Papua.

“Zona-zona ini rentan menimbulkan gempa bumi dengan kekuatan berkisar antara 7,8 hingga 9,2 skala Richter, yang dapat menimbulkan kerusakan besar dan tsunami,” tulis Zulfakriza.

Tsunami menyebabkan kerusakan dan kematian di wilayah pesisir di seluruh dunia. Sebab, lokasinya yang dekat dengan sumber tsunami, serta kondisi kedalaman laut dan topografi daerah setempat.

Bagaimana mitigasinya?

Mustahil memprediksi gempa bumi dan tsunami. Karenanya, mitigasi dan pengurangan risiko sangat penting.

Fahmyddin A’raaf Tauhid dari Departemen Arsitektur UIN Alaudiin Makassar, dalam risetnya yang diterbitkan National Academic Journal of Architecture (2018) menyarankan enam strategi elemen desain perkotaan untuk mitigasi struktural, yakni perencanaan dan desain infrastruktur, hutan pantai, sistem peringatan dini, perencanaan jaringan jalan darurat, perencanaan evakuasi pra-tsunami, dan desain serta konstruksi bangunan.

Perencanaan, kata Fahmyddin, secara komprehensif menggabungkan struktur pantai, infrastruktur darurat publik, strategi perumahan, infrastruktur vital, serta fasilitas kritis. Komponen infrastruktur darurat publik terkait elemen fisik desain perkotaan untuk mitigasi dampak tsunami meliputi bangunan evakuasi, jembatan evakuasi, pangkalan darurat, dan taman kota.

Beberapa teknik mitigas tsunami untuk perumahan dan permukiman, disarankan Fahmyddin, yakni perumahan berdensitas tinggi, bangunan berkelompok, bangunan menara, orientasi dan penataan blok banguan, dan penataan fungsional dalam bangunan.

Lalu, hutan pantai yang merupakan solusi alami keberhasilannya dalam mitigasi tsunami tergantung dari faktor, antara lain luas hutan, kemiringan hutan, kerapatan dan tinggi pohon, keberadaan habitat tepi hutan, jarak dari lempeng tektonik, ukuran dan kecepatan tsunami, dan sudut datang tsunami terhadap garis pantai.

“Sistem peringatan dini, memerlukan pemahaman tentang waktu tempuh tsunami dan waktu evakuasi,” tulis Fahmyddin.

Kemudian, penyediaan jalan darurat terdiri dari jalan evakuasi dan jalan bantuan. Evakuasi penduduk dalam waktu terbatas dari daerah rawan ke tempat aman, kata Fahmyddin, merupakan strategi utama sebelum gelombang tsunami menerjang untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa. Medote evakuasi terdiri dari model horizontal dan vertikal.

“Evakuasi horizontal mengevakuasi penduduk dari daerah rawan ke tempat yang lebih aman di daerah yang jauh atau dataran yang lebih tinggi,” tulis Fahmyddin.

“Dalam metode evakuasi vertikal, penduduk yang terancam tsunami dievakuasi ke lantai atas gedung-gedung kokoh bertingkat yang berada di sekitar mereka.”

Terkait desain dan konstruksi bangunan, Fahmyddin menulis, cara paling efektif untuk mengurangi kerusakan adalah dengan membangun bangunan di luar jangkauan tsunami. Bangunan harus memenuhi spesifikasi untuk mampu menahan tsunami, kekuatan gempa bumi, serta bisa digunakan penghuni pascabencana.

Selain itu, para peneliti dari Universitas Syiah Kuala yang hasil risetnya diterbitkan di jurnal Environmental Challenges (April, 2024) memaparkan beberapa mitigasi pasca-bencana tsunami di Aceh. Pertama, melakukan perlindungan pesisir berbasis ekosistem dengan restorasi mangrove dan terumbu buatan.

Kedua, mengembangkan sistem peringatan dini tsunami yang kuat dan cepat, terutama di pantai utara Banda Aceh. Ketiga, kesiapsiagaan dan edukasi bencana berbasis masyarakat. Keempat, pentingnya zonasi dan peraturan bangunan di area yang rentan terhadap risiko tinggi.

Kelima, pemulihan pascabencana yang tangguh, dengan perencanaan yang efektif dan kebangkitan ekonomi yang baik. Keenam, sebagai kerangka kerja global untuk diskusi manajemen bencana. Terakhir, kesiapsiagaan mitigasi berbasis kearifan lokal.

Sementara itu, Zulfakriza dalam The Conversation mengingatkan, upaya mitigasi bencana meliputi edukasi publik dan penggunaan infrastruktur tahan gempa. Pada 2007, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana, yang merinci kegiatan pengurangan risiko, termasuk mitigasi. Undang-undang itu, sebut Zulfakriza, mendorong kolaborasi antara lima elemen utama, yakni pemerintah, masyarakat, akademisi, perusahaan, dan media.

“Kolaborasi sangat penting untuk keberhasilan mitigasi bencana,” tulis Zulfakriza.

“Namun, masalah seperti ego sektoral sering kali menghambat upaya tersebut. Misalnya penolakan untuk berbagi data antarotoritas dapat membahayakan penelitian gempa bumi dan upaya mitigasi.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan