Enam orang asing ditemukan tak bernyawa di sebuah kamar di sebuah hotel mewah di Bangkok. Polisi Thailand menyebut ada motif pembunuhan dalam kasus kematian itu. Tersangka pembunuh termasuk di antara korban tewas, kata polisi Thailand, Rabu (17 Juli).
Diduga mereka tewas akibat keracunan sianida. Polisi mengatakan bahwa bahan kimia yang bereaksi cepat dan mematikan itu ditemukan pada gelas minum dan teko di kamar hotel mewah Grand Hyatt Erawan, dan wawancara dengan kerabat korban mengungkapkan telah terjadi perselisihan mengenai utang terkait dengan investasi.
Keenamnya adalah etnis Vietnam, dua di antaranya berkewarganegaraan AS, dan ditemukan tewas pada Selasa malam. Biro Investigasi Federal AS telah membantu polisi dalam penyelidikan tersebut.
“Kami menemukan sianida di dalam cangkir teh, di keenam cangkir kami menemukan sianida,” Trirong Phiwpan, Komandan kantor bukti polisi Thailand, mengatakan pada konferensi pers.
"Setelah staf membawa cangkir teh dan dua botol air panas, susu dan teko teh... salah satu dari enam sianida dimasukkan." Hasil otopsi diharapkan keluar pada hari berikutnya, kata polisi.
Pemerintah Vietnam mengatakan kedutaan besarnya di Bangkok berkoordinasi erat dengan pihak berwenang Thailand mengenai kasus ini, sementara Departemen Luar Negeri AS mengatakan pihaknya memantau situasi dan pemerintah setempat bertanggung jawab atas penyelidikan tersebut.
Grand Hyatt Erawan, yang dioperasikan oleh Erawan Group memiliki lebih dari 350 kamar dan terletak di kawasan wisata populer yang terkenal dengan perbelanjaan dan restoran mewah.
Berita mengenai kematian tersebut, yang awalnya dilaporkan oleh beberapa media Thailand sebagai penembakan, bisa menjadi kemunduran bagi Thailand karena negara tersebut sangat bergantung pada sektor pariwisata yang penting untuk menghidupkan kembali perekonomian yang telah terpuruk sejak pandemi ini.
Thailand memperkirakan kedatangan wisatawan asing sebanyak 35 juta orang pada tahun ini, naik dari 28 juta orang pada tahun lalu yang menghabiskan dana sebesar 1,2 triliun baht (Rp538 triliun).
Perdana Menteri Srettha Thavisin pada hari Selasa mendesak penyelidikan cepat terhadap masalah ini untuk membatasi dampaknya terhadap sektor perjalanan Thailand.(asiaone)