close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aksi Koalisi Buruh Migran Berdaulat di depan Kedubes Malaysia untuk Indonesia di Jakarta, Kamis (25/11/2021). Dokumentasi KBMB
icon caption
Aksi Koalisi Buruh Migran Berdaulat di depan Kedubes Malaysia untuk Indonesia di Jakarta, Kamis (25/11/2021). Dokumentasi KBMB
Peristiwa
Minggu, 02 Februari 2025 13:13

Akar persoalan berulangnya kekerasan terhadap PMI di Malaysia

Pemerintah harus membangun kesepakatan untuk memastikan pekerja migran di Malaysia tak terus jadi sasaran kekerasan aparat.
swipe

Insiden penembakan terhadap lima pekerja migran Indonesia (PMI) non-prosedural yang diduga dilakukan aparat Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) di perbatasan Malaysia-Indonesia menuai kecaman. Pemerintah Indonesia menuntut investigasi menyeluruh dari pihak berwenang di Malaysia terkait peristiwa itu. 

Peristiwa penembakan terjadi pada Jumat (24/1). Insiden penembakan membuat seorang PMI meninggal dunia, satu orang dalam kondisi kritis, tiga lainnya dirawat di rumah sakit di Selangor, Malaysia. APMM berdalih para PMI terpaksa ditembak lantaran melawan saat hendak ditahan. 

Namun, pengakuan dari PMI yang selamat dari insiden itu berbeda dengan yang diungkap APMM. Kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), HA dan MZ--dua WNI yang jadi korban dalam insiden tersebut--mengaku tak ada perlawanan kepada aparat APMM.   

Ini bukan kali pertama pekerja migran asal Indonesia ditembak aparat keamanan dan tewas di Malaysia. Menurut catatan Migran Care, ada sebanyak 75 kasus penembakan terhadap pekerja migran di Malaysia sepanjang tahun 2005-2025. Hampir semua kasus berakhir tanpa ada penyelesaian yang signifikan dan serius. 

Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen pemerintah Indonesia turut bertanggung jawab dalam fenomena berulangnya kematian pekerja migran Indonesia di Malaysia. Menurut dia, pemerintah tak pernah tegas menuntut tanggung jawab para pelaku kekerasan atau pembunuhan terhadap PMI di Malaysia. 

"Seharusnya pemerintah itu tegas. Sebenarnya pemerintah Malaysia sangat membutuhkan tenaga kerja migran asal Indonesia karena kita salah satu pemasok pekerja migran terbesar. Mereka punya ketergantungan. Jadi, ini bisa jadi satu bargain atau posisi tawar pemerintah Indonesia untuk mengajukan perlindungan," kata Karsiwen kepada Alinea.id, Sabtu (1/2).

Menurut Karsiwen, pemerintah Indonesia dan Malaysia semestinya menyusun semacam memorandum of agreement (MOA) atau perjanjian kesepakatan untuk menindak tegas majikan atau aparat yang melakukan kekerasan terhadap PMI. MOA urgen supaya tak ada impunitas bagi pelaku kekerasan atau pembunuhan terhadap PMI di Malaysia. 

"Jika pemerintah Malaysia tidak menjalankan MOA, kita bisa menuntut. Jadi, ada ada hubungan hukum secara bilateral untuk menghapus impunitas itu. Salah satunya lewat penindakan hukum secara tegas," kata Karsiwen. 

Karsiwen tidak memungkiri perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia juga masih lemah di Indonesia. Di lain sisi, kasus perdagangan manusia dari dengan iming-iming bekerja di luar negeri juga masih marak terjadi di berbagai daerah. Salah satunya di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Lebih jauh, ia menyebut kasus kekerasan yang bahkan hingga berujung kematian pada PMI di Malaysia tidak lepas dari arogansi dan perasaan superior para pemberi kerja dan aparat otoritas Malaysia terhadap pekerja migran Indonesia. Meskipun hal itu tak bisa dipukul rata.

"Sebab ada pula PMI yang mendapat majikan yang baik. Tetapi, kasus kekerasan atau penggunaan kekuatan yang berlebihan sering terjadi karena mereka merasa superior, punya senjata dan kuasa. Akhirnya, mereka menjadi semena-mena," ujarnya. 

Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Faudzan Farhana menilai berulangnya kasus kekerasan terhadap PMI di Malaysia punya akar yang pelik. Salah satunya ialah karena sulit dibendungnya arus pekerja migran ilegal dari Indonesia ke Malaysia. 

"Secara tradisional, sudah ada pola migrasi dengan motif ekonomi yang besar. Selain itu, masyarakat cenderung abai dengan peraturan yang diberlakukan baik oleh negara asal (Indonesia) maupun negara penerima (Malaysia)," kata Farhana kepada Alinea.id

Pekerja asal Indonesia kerap menggunakan jalur tak resmi untuk bisa bekerja di Malaysia. Pasalnya, jalur resmi tergolong mahal dan berbelit-belit. Meski melanggar aturan, menurut Farhana, jalur ilegal justru lebih murah dan mudah bagi kebanyakan calon pekerja asal Indonesia. 

"Dengan alasan apa pun, jika prosedurnya tidak sesuai, maka pelaku dianggap melanggar hukum (oleh aparat keamanan di Malaysia) dan masuk kategori penjahat yang harus diberantas. Ini penjelasan mengapa pemerintah Indonesia tidak bisa memberikan sikap lebih tegas terhadap aksi aparat Malaysia," kata dia. 

Posisi tawar pemerintah Indonesia, lanjut Farhana, juga terkesan lebih rendah tak mampu mengerem aktivitas migrasi ilegal ke Malaysia. "Itu karena pemerintah RI hingga hari ini belum mampu memperbaiki kondisi sosial ekonomi di wilayah perbatasan," kata Farhana. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan