Wacana pembubaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyeruak dipicu polemik larangan memakai jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024. Selain kalangan pesohor, sejumlah organisasi masyarakat meminta pemerintah mengkaji ulang eksistensi badan tersebut.
Suara penolakan terhadap BPIP, misalnya, diutarakan ormas Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), Persada 212, dan Jalinan Alumni Timur Tengah Indonesia (JATTI). Adapun pesohor yang mewacanakan pembubaran BPI-P, semisal aktris Zaskia Adya Mecca dan selebgram Okina Fitriani.
Pengajar hukum pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Bernard L Tanya menilai wacana pembubaran BPIP berlebihan. Menurut dia, tak tepat jika pembubaran BPIP digaungkan sebagai sanksi dari polemik pelepasan hijab sejumlah anggota Paskibraka.
"Lembaga tersebut masih sangat dibutuhkan. Jika ada kekeliruan personelnya, maka personel itu yang perlu dievaluasi. Jadi, bukan membubarkan lembaganya," ucap Bernard kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
BPIP memicu kontroversi lantaran merilis Keputusan BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Regulasi itu melarang anggota Paskibraka mengenakan kerudung saat pengukuhan dan bertugas di lingkungan Istana Kepresidenan.
Netizen memviralkan larangan memakai jilbab tersebut. Di media sosial, BPIP dihujat lantaran dianggap mempraktikan nasionalisme sempit. Sejumlah anggota DPR bahkan turut mengomentari polemik itu dan meminta BPIP dievaluasi.
Kepala BPIP Yudian Wahyudi telah meminta maaf karena aturan itu telah memicu kegaduhan. Ia menegaskan aturan tersebut telah dicabut dan anggota Paskibraka kini diperbolehkan menggunakan jilbab selagi bertugas dalam pelaksanaan upacara HUT RI ke-79 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur dan di Jakarta.
Meskipun kerap memicu polemik, Bernard berpendapat tak tepat jika BPIP dibubarkan. Menurut dia, BPIP justru butuh penguatan dan pembenahan serius dari segi kenegarawanan, kompetesi, dan representasi para fungsionaris BPIP. "Tuntutan yang muncul sekarang sudah overdosis," imbuh dia.
Ke depan, Bernard menyarankan agar BPIP berhati-hati mengeluarkan kebijakan. Terkait polemik berjilbab bagi anggota Paskibraka, misalnya, BPIP harus bijak menyikapi pilihan berbusana masyarakat. Apalagi, larangan berjibab bisa dimaknai secara negatif.
"Karena ukurannya adalah pada tepat tidaknya suatu hal dalam konteks dan situasi tertentu. Jadi, ukurannya adalah wajib-tidaknya jilbab dalam suatu situasi atau kondisi tertentu. Mestinya kita bijak membedakan dua reasioning di atas sehingga reaksi kita lebih masuk akal," ucap Bernard.
Guru besar Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Sukron Kamil sepakat BPIP tak perlu dibubarkan. Menurut Sukron, yang perlu dievaluasi ialah pucuk pimpinan BPIP, Yudian Wahyudi.
Menurut Sukron, Yudian cenderung mengamalkan Pancasila dengan paradigma sekuler, kaku, dan tidak moderat. Yudian tampak ingin membatasi penggunaan simbol-simbol agama di ruang publik. Padahal, Pancasila adalah ideologi yang terbuka.
"Jadi, di ruang publik itu seolah enggak boleh banget hal-hal yang bersifat agamis seperti pakai kerudung. Mirip sekularisme model Prancis yang tidak membolehkan pemakaian kerudung di sekolah umum dan ruang publik. Sementara di ruang pribadi, silakan saja," ucap Sukron kepada Alinea.id.
Menurut Sukron, pelarangan penggunaan kerudung bagi anggota Paskibraka serupa yang diberlakukan Yudian saat menjabat sebagai Rektor UIN Yogyakarta. Artinya, Yudian sejak awal menganut paradigma sekuler dan berupaya menghapus simbol-simbol keagamaan di ruang publik.
"Yudian sejak awal melahirkan kontroversi. Dulu dia pernah menyebut lawan Pancasila adalah agama. Secara akademik, itu keliru karena agama ada di dalam Pancasila. Ada di sila pertama. Jadi, secara akademik, saya berani mengatakan kalau agama menjadi musuh itu problematik," ucap Sukron.
Alih-alih berhadap-hadapan, menurut Sukron, agama dan negara semestinya bisa bersinergi. Jika disepakati bersama, norma-norma agama bahkan bisa terwujud sebagai aturan di ruang publik. Artinya, tidak perlu ada pembatasan simbol-simbol agama di ruang publik.
"Jadi, sebuah nilai-nilai agama bisa menjadi undang-undang kalau itu dirasionalisasikan menjadi sebuah kesepakatan antara kalangan negara sekular, dan kalangan non-Islam," ujar Sukron.
BPIP didirikan pada 28 Februari 2018. Berada di bawah Presiden, BPIP ditugasi mengaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara khusus, BPIP melakukan pembinaan ideologi Pancasila kepada seluruh penyelenggara negara.