Usulan penghapusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang diutarakan Kementerian Hak Asasi Manusia (Kementerian HAM) direspons kepolisian. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan Polri akan tetap melayani pembuatan SKCK.
“Tentu apa yang jadi masukan secara positif kami juga akan menghargai dan akan menjadi bagian untuk meningkatkan pelayanan kepada seluruh elemen masyarakat,” kata Trunoyudo kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (24/1) lalu.
Kewenangan kepolisian mengeluarkan SKCK diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 15 ayat 1 dan huruf K, serta dalam Peraturan Polri Nomor 6 Tahun 2023. Aturan teknisnya dimuat dalam Peraturan Polri Nomor 6 tahun 2023.
Sebelumnya, Dirjen Instrumen dan Penguatan HAM Kementerian HAM Nicholay Aprilindo mengatakan kementeriannya mengusulkan agar SKCK dihapus lantaran kerap jadi penghambat bagi mantan narapidana yang ingin mendapatkan pekerjaan dan membangun kembali kehidupan mereka.
Nicholay mengatakan gagasan itu muncul setelah kunjungan ke sejumlah lapas di NTT, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Di lapas, banyak napi yang mengaku residivis. Mereka kembali melakukan kejahatan karena kesulitan bekerja saat berada di luar penjara.
Temuan itu dibahas dengan Menteri HAM Natalius Pigai. Pigai, kata Nicholay, setuju agar SKCK dihapus. Surat usulan penghapusan SKCK sudah dikirimkan ke Mabes Polri. "Padahal, mereka (narapidana) sudah berkelakuan baik ketika dinyatakan selesai menjalani hukuman,“ tutur Nicholay.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISEESS) Bambang Rukminto menilai catatan kriminal tetap diperlukan bagi kepolisian sebagai upaya mitigasi potensi ancaman keamanan. Akan tetapi, catatan kriminal tidak bisa dijadikan alat legitimasi perilaku individu lantaran perilaku bisa berubah sewaktu-waktu.
Penerbitan SKCK, kata Bambang, seharusnya dijadikan hak bagi warga negara dan bukan kewajiban warga negara yang seperti saat ini berlaku.
"Jadi, biaya PNBP (pendapatan nasional bukan pajak) untuk mendapatkan SKCK itu tidak tepat," kata Bambang kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (26/3).
Bambang menilai penerbitan SKCK oleh kepolisian cenderung diskriminatif. Bahkan, SKCK seolah menjadi alat legitimasi kepolisian sebagai pemegang hak berkelakuan baik. Padahal, faktanya banyak juga personel kepolisian yang juga pelaku pelanggaran pidana.
SKCK sebagai syarat melamar pekerjaan, kata dia, tidak tepat diberlakukan kepada masyarakat yang melamar pekerjaan. Yang memerlukan SKCK adalah instansi tempat bekerja. Di banyak negara, perusahaanlah yang bertugas mencari tahu rekam jejak calon pekerja.
"Pada negara-negara maju, peran itu dilakukan oleh talent hunter untuk melihat riwayat calon kandidat pekerja. Perusahaan yang aktif mencari rekam jejak calon pekerjanya. Negara bukan malah melegitimasi perilaku warganya dengan penerbitan SKCK," kata Bambang.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon tak sepakat SKCK dihapuskan. Menurut dia, SKCK tetap diperlukan sebagai sumber data untuk profiling para pelaku kejajahatan.
"Profailing pelaku kejahatan dalam masyarakat tetap harus ada dan terintegrasi. Apa pun namanya itu, mau SKCK atau bukan," kata Josias kepada Alinea.id, Selasa (26/3).
Namun demikian, Josias tidak memungkiri SKCK berpotensi menghalangi hak asasi warga negara. SKCK juga "memberatkan" calon pencari kerja karena biaya yang harus dikeluarkan setiap kali penerbitan dan masa berlaku yang pendek.
"Isi surat terlalu umum, maka perlu perbaikan. Tetapi, di sisi lain menjadi upaya prevensi terhadap pengulangan tindak kejahatan dan yang utama memperhatikan pentingnya hak-hak korban kejahatan," ujar Josias.