close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah pengemudi ojek online melintas di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1)./AntaraFoto
icon caption
Sejumlah pengemudi ojek online melintas di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1)./AntaraFoto
Peristiwa
Selasa, 18 Februari 2025 16:05

Apakah bisa pengemudi ojek online dapat THR?

Berulang kali pengemudi ojek online melakukan unjuk rasa, menuntut pemberian THR.
swipe

Untuk yang kesekian kalinya, serikat dan komunitas pengemudi ojek online (ojol) melakukan aksi unjuk rasa. Mereka menuntut pemberian tunjangan hari raya (THR) saat hari raya Idulfitri nanti di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Jakarta, pada Senin (17/2).

Mengapa aplikator tidak memberi THR?

Terkait tuntutan ojol, PT. GoTo Gojek Tokopedia melalui keterangan resmi Chief of Public Policy & Government Relations GoTo Group Ade Mulya menegaskan, tahun ini perusahaannya tengah berkoordinasi intensif dengan Kemenaker membahas tali asih hari raya. Lewat keterangan resminya, Grab Indonesia pun menegaskan tengah berkoordinasi dengan pemangku kepentingan soal pemberian bantuan hari raya (BHR). Kedua perusahaan ini tidak menyinggung THR.

Tahun lalu, dilansir dari Tempo, Gojek dan Grab menolak memberi THR kepada mitra pengemudinya. Sebabnya, para pengemudi ojol tidak dianggap sebagai pegawai dengan perjanjian kerja dengan waktu tertentu (PKWT) atau bentuk lain dari hubungan kerja yang diatur formal.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan—atau akrab disapa Noel—mengatakan status kemitraan antara pekerja angkutan online dengan aplikator memiliki definisi yang vital. Kata dia, status kemitraan seharusnya punya posisi yang sejajar dan tak merugikan satu sama lain.

“Yang pasti kemitraan yang didefinisikan oleh aplikator itu salah,” kata Noel di Kantor Kemenaker, Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Senin (17/2).

Maka dari itu, Kemenaker berencana membuat dan memperkuat payung hukum bagi para pekerja angkutan daring. Bentuknya bisa berupa peraturan menteri atau peraturan pemerintah.

“Yang jelas, harus ada legal standing untuk mereka. Itu penting bagi teman-teman driver,” ujar Noel.

Apa dasar hukumnya dan bagaimana peran negara?

Menurut Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati, dikutip dari Antara, mitra pengemudi ojol punya hak sebagai pekerja, termasuk THR, mengacu pada aturan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebab, pengemudi ojol juga termasuk pekerja karena punya unsuk pekerjaan menghasilkan barang dan/atau jasa, serta upah yang merupakan hak pekerja atau buruh yang diterima sebagai imbalan dari pengusaha.

Sementara itu, menurut Noel, dilansir dari Antara, tuntutan para pengemudi taksi onilne dan ojol soal pemberian THR merupakan hal yang wajar dan rasional.

Noel—sapaan akrab Immanuel Ebenezer Gerungan—menjelaskan, berdasarkan UU 13/2003 para pengemudi ojol merupakan pekerja yang berhak atas upah dan kesejahteraan yang layak.

“Mengacu pada International Labour Organization (ILO), posisi driver juga sebagai pekerja. Maka dari itu, harus mendapat THR, tidak bisa tidak,” kata Noel, dikutip dari Antara, Senin (17/2).

Noel juga mengaku, sudah melakukan diskusi dengan aplikator soal pemberian THR, terlepas nantinya bakal diberi nama bonus, bantuan, atau lainnya. Mengenai sanksi jika aplikator tak memenuhi kewajiban itu, Noel mengatakan, pihaknya bakal mempertimbangkan.

Pada Jumat (24/1), Kemenaker dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun sudah melakukan diskusi soal pemberian THR bagi pekerja layanan berbasis aplikasi. Di sisi lain, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait soal tuntutan THR bagi pengemudi ojol, termasuk dengan Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutiya Hafid dan Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi.

Pada 2024, Kemenaker sudah mengimbau perusahaan ojol dan kurir logistik memberikan THR keagamaan 2024 kepada para pekerjanya. Dilansir dari Antara, pemberian THR itu mengacu pada Surat Edaran Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Saat itu, dalam keterangan tertulis, Dirjen Pembinaan Hukum Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHI-JSK) Indah Anggoro Putri mengatakan, pengemudi ojol dan kurir logistik tetap berhak mendapatkan THR. Alasannya, meski hubungan kerjanya bersifat kemitraan, tetapi ojol dan kurir logistik tetap masuk kategori pekerja waktu tertentu (PKWT).

Berdasarkan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yakni pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Namun setelah itu, Indah menegaskan, pihaknya hanya mengimbau perusahaan aplikasi untuk memberikan THR, bukan mewajibkan.

Apa kata pengamat?

Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, pemberian beasiswa kepada anak pengemudi ojol bisa menjadi alternatif pengganti THR. Alasan Wijayanto, seperti dikutip dari Antara, regulasi THR bagi ojol justru berpotensi mematikan pertumbuhan industri digitalisasi nasional. Sebab, bisnis model ojol menjanjikan fleksibilitas waktu, aset, dan investasi bagi perusahaan ojol.

Bila fleksibilitas itu dihilangkan, kata dia, sangat mungkin para mitra justru mengalami kesulitan dan perusahaan menghadapi problem keberlangsungan hidup. Penumpang dan bisnis pemanfaat jasa ojol juga bakal terdampak.

Di sisi lain, ada konsekuensi bila status hubungan kerja diubah, bukan lagi kemitraan. Menurut pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Brawijaya, Budi Santoso, dikutip dari Antara, konsekuensinya seperti siap dirumahkan jika bisnis sedang tak bagus dan terpaksa ada pengurangan tenaga kerja.

Di samping itu, kalau status ojol diformalkan, aplikasi punya hak dalam menentukan atau meningkatkan persyaratan dalam merekrut pekerjanya. Misalnya, usia pekerja maksimal 30 tahun.

Maka dari itu, Budi mengatakan, skema kemitraan seperti yang ada saat ini sudah lebih baik daripada status yang lebih terikat. Terlebih, mereka punya waktu yang fleksibel mengatur jam kerja.

“Ojol itu sudah legal dan ada di Permenhub (Peraturan Menteri Perhubungan). Hanya saja, memang saat ini, dalam Permenhub belum dijelaskan secara tegas hubungan antara pengemudi ojol dengan aplikator, apakah merupakan kemitraan atau hubungan kerja,” ujar Budi, dikutip dari Antara.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan