close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Komandan Upacara Kolonel (Mar) Y. Rudy Sulistyanto (kiri) melakukan inspeksi jajaran pasukan saat Upacara Perayaan HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Oktober 2019. /Antara Foto
icon caption
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Komandan Upacara Kolonel (Mar) Y. Rudy Sulistyanto (kiri) melakukan inspeksi jajaran pasukan saat Upacara Perayaan HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Oktober 2019. /Antara Foto
Peristiwa
Senin, 15 Juli 2024 14:10

Arah profesionalitas dalam revisi UU TNI

Wacana revisi UU TNI agar prajurit TNI dapat berbisnis, mengundang kontroversi. Lain itu, banyak hal yang mesti diperbaiki, terkait profesionalitas.
swipe

Wacana mengenai prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) boleh berbisnis di dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengundang kontroversi. Pasal 39 nomor 3 di dalam beleid itu menyebut, prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. Pasal tersebut diusulkan direvisi. Hal itu dinilai menggerus profesionalitas TNI.

Menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro, saat dengar pendapat publik RUU perubahan UU TNI yang diadakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) pada Kamis (11/7), hal itu diusulkan karena banyak prajurit yang tidak sekadar berdinas di TNI, tetapi juga bekerja sebagai tukang ojek daring atau pengusaha warung.

“Istri saya punya warung, buka warung di rumah. Kalau ini diterapkan, saya kena hukuman. Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis,” kata dia.

“Aku mau enggak mau terlibat, wong aku mengantar belanja dan sebagainya. Sekarang, kalau ini diperiksa, saya bisa kena.”

Menurut peneliti dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI) Beni Sukadis, persoalan kesejahteraan prajurit TNI ini seharusnya berfokus pada skema gaji dan remunerasi. Lalu, langkah lainnya, dengan perencanaan sumber daya manusia secara lebih luas.

Misalnya, perwira menengah atau atas yang tidak memiliki jabatan selama tiga hingga empat tahun, bisa disertakan mengikuti pelatihan. Hal ini sebagai insentif bagi mereka agar kemampuan militer tidak melempem lantaran belum ada tugas untuk mengasahnya kembali.

“Kalau dilihat gaji prajurit tamtama dan bintara kan memang kecil, jadi memang belum sejahtera,” ucap Beni kepada Alinea.id, Minggu (14/7).

Sementara pengamat militer dan inteligen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati mengatakan, revisi Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Kepolisian setelah 20 tahun, seharusnya lebih ditujukan untuk mengantisipasi berbagai bentuk ancaman dan tindak pidana sebagai efek negatif kemajuan teknologi. Apalagi pelanggaran kedaulatan di ruang siber sangat mendesak untuk segera diatasi.

Ia menuturkan, dengan kompleksitas tugas TNI di darat, laut, dan udara, ditambah ruang siber, maka prajurit TNI dapat bertugas di lingkungan kementerian atau lembaga sesuai kebutuhan.

“Karenanya, sangat wajar jika usia pensiun prajurit TNI dan Polri diperpanjang sesuai potensi dan proyeksi penugasannya,” kata Susaningtyas, Minggu (14/7).

Bagi Susaningtyas, penugasan prajurit TNI di lingkungan kementerian dan lembaga sejalan dengan permintaan kebutuhan, yakni memanfaatkan semua sumber daya manusia atau warga negara. Ia menilai, hal itu berbeda dengan dwifungsi ABRI, yang tujuannya menduduki jabatan politik.

“Penugasan prajurit TNI dan Polri di berbagai instansi pemerintah justru menunjukkan tidak ada dikotomi dalam pembangunan nasional,” ujarnya.

Selain itu, perpanjangan masa dinas Panglima TNI dan Kepala Staf TNI, menurutnya, diupayakan lebih konsisten dengan periode waktu. Minimal tiga atau lima tahun, mengikuti masa bakti kabinet pemerintahan. Tujuannya, supaya kinerja mereka dapat lebih efektif dan efisien.

Lebih baik lagi, jika menyiapkan kandidat minimal 10 tahun sebelumnya, sehingga pola pergantian dari ketiga matra dalam TNI dapat berjalan dengan konsisten. Pola pergantian demikian, kata Susaningtyas, tentu membutuhkan usia pensiun yang lebih tertata, memenuhi kelengkapan tour of duty dan tour of area sekaligus keseimbangan antara masa dinas dalam pangkat dan masa dinas perwira.

Dia menegaskan, banyak isu yang harus dibahas dalam revisi UU TNI, tidak serta-merta persoalan kesejahteraan prajurit juga tujuan semata.

“Menurut saya, soal boleh atau tidaknya prajurit berbisnis, masih tarik-ulur,” ucap dia.

Terpisah, pengamat militer dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Sidratahta Mukhtar mengatakan, revisi UU TNI seharusnya diarahkan untuk mendorong TNI makin profesional. Tujuannya, supaya TNI memiliki kapabilitas lebih dalam menjaga negara dari ancaman-ancaman kedaulatan dan menghadapi potensi perang.

“Artinya, profesionalisme militer Indonesia harus berorientasi outwardlooking (berwawasan ke luar),” ujar Sidratahta, Minggu (14/7).

Maka, kata Sidratahta, jika peran TNI kembali ke ranah sipil, artinya membuka kembali peran sosial-politik, seperti dwifungsi. Hanya saja, dalam bentuk yang baru.

“Paradigma itu (dwifungsi) sudah ditinggalkan. Kenapa kok mau dikembalikan lewat revisi UU TNI?” ucap Sidratahta.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan