close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi sekolah menengah atas di Jakarta. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi sekolah menengah atas di Jakarta. /Foto Antara
Peristiwa
Jumat, 17 Januari 2025 12:14

Bahaya segregasi dan pengkastaan di Sekolah Garuda

Untuk tahap awal, pemerintah berniat membangun dua puluh Sekolah Garuda di berbagai provinsi.
swipe

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengungkapkan rencana pemerintah membangun sekolah unggulan di tingkat sekolah menegah atas (SMA). Dinamai Sekolah Garuda, pemerintah menargetkan 20 SMA Garuda terbangun pada 2029. 

Menurut Satryo, Sekolah Garuda didesain sebagai sekolah pre-university atau sekolah persiapan masuk ke perguruan tinggi. Siswa-siswanya akan disiapkan untuk mengenyam pendidikan di kampus-kampus terbaik di luar negeri. 

"Jadi, betul-betul dipilih dan disiapkan secara intensif mereka semua itu. Gurunya pun juga kita harus seleksi dengan baik dan sebagainya," ujar Satryo kepada wartawan di Jakarta, akhir Desember lalu. 

Sejumlah sekolah yang akan ditetapkan sebagai sekolah unggulan, semisal SMA Taruna Nusantara, SMA Pradita Dirgantara, dan SMAN Bali Mandara. Untuk tahap awal, Sekolah Garuda akan dibangun di Ibu Kota Nusantara (IKN), Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai rencana membangun Sekolah Garuda telah melenceng dari komitmen melanjutkan kebijakan pendidikan era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada era Jokowi, sekolah dirancang menjadi lembaga yang inklusif, mengesampingkan latar belakang ekonomi, dan ada kuota afirmasi untuk kaum disabilitas. 

"Meski dalam pelaksanaannya, ternyata ada banyak masalah karena problem daya tampung yang kurang dan mutu yang belum merata. Problem ketimpangan ini yang mestinya diselesaikan oleh Presiden Prabowo jika memang berkomitmen untuk melanjutkan," kata Ubaid kepada Alinea.id, Kamis (16/1).

Ubaid menilai upaya pemerintah mendistribusikan sekolah berkualitas secara merata bakal terganjal jika kebijakan membangun sekolah unggulan diterapkan. Label sekolah unggulan akan menjadikan Sekolah Garuda sebagai institusi yang eksklusif dan hanya bisa dihuni oleh anak-anak dengan kasta atau kelas sosial ekonomi tertentu. 

"Kalau ini yang dilakukan, maka ini mirip dengan kebijakan pendidikan di era kolonial, yakni ada sekolah khusus anak keturunan penjajah, sekolah khusus pribumi, sekolah untuk para ningrat, dan sekolah untuk rakyat. Kita ini sudah merdeka, mengapa sistem kasta dan segragasi era kolonial kita praktikkan dan tanamkan kembali di sekolah-sekolah?" tanya Ubaid.

Ubaid mengatakan keberadaan sekolah unggulan juga berpotensi melanggar konstitusi. Mahkamah Konsitusi sempat membubarkan model Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Pasalnya, RSBI bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam UUD 1945.

"Bahwa layanan pendidikan itu harus berkeadilan dan dapat diakses untuk semua anak, bukan untuk kalangan dengan ekonomi tertentu saja," kata Ubaid.

Lebih jauh, Ubaid mengatakan kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia akan semakin lebar jika gagasan Sekolah Garuda direalisasikan. Ia berkaca pada data PISA 2022 menunjukan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. 

"Anak-anak dari keluarga miskin akan terus terperangkap dalam siklus ketidaksetaraan, sementara anak-anak dari keluarga lebih mampu mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sekolah unggulan," tutur Ubadi. 

Ubaid menilai pembentukan sekolah unggulan Garuda, hanya akan memunculkan labelisasi dan stigma negatif terhadap siswa yang belajar di sekolah rakyat. Anak-anak yang bersekolah di sekolah rakyat akan dianggap siswa "kelas dua" atau tidak sebaik siswa di sekolah unggulan. 

Pada gilirannya stigma ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan prestasi akademik di siswa sekolah rakyat. "Stigmatisasi ini akan memperkuat stereotip dan bias yang merugikan, dan semakin memarjinalkan kelompok anak miskin yang sudah rentan dan memperpetuasi siklus diskriminasi," kata Ubaid.

Menurut pangkalan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, per Januari 2025, tercatat jumlah anak tidak sekolah (ATS) mencapai 3.846.375 orang. Salah satu faktor penyebab besarnya ATS, menurut Ubaid, ialah kekurangan kuota bangku akibatnya sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang menggunakan model seleksi.

Ketimbang membangun Sekolah Garuda, Ubaid menyarankan agar pemerintah memetakan mutu sekolah-sekolah di Indonesia terlebih dahulu supaya semua sekolah perlahan "naik kelas" menjadi sekolah unggulan secara kualitas. Setelah naik kelas, semua sekolah unggulan juga harus didesain inklusif dan tidak hanya mengutamakan sisi akademik.

"Karena itu, konsep unggulan jangan dipisah dengan rakyat. Sebab semua rakyat harus berprestasi dan tugas pemerintah adalah menyediakan sekolah yang inklusif dan berkualitas unggulan untuk semuanya. Pastikan semua anak dapat jatah bangku sekolah," ujar dia.

Pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma menilai gagasan untuk membangun sekolah unggulan Garuda di berbagai daerah berlebihan. Ketimbang menghabiskan anggaran untuk itu, menurut dia, sebaiknya Presiden Prabowo mengajak para konglomerat untuk membangun sekolah unggulan.

Ia mencontohkan pembangunan SMA Unggul Del di Sumatera Utara yang disponsori eks Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Inisiatif serupa bisa dilakukan perusahaan swasta lewat yayasan-yayasan pendidikan mereka, semisal Sampoerna Foundation dan Djarum Foundation. 

"Tidak perlu pemerintah yang membuat sendiri sekolah semacam itu. Presiden bisa mengajak para konglomerat untuk membangun sekolah-sekolah semacam itu. Bukankah Pak Luhut sudah mendirikan sekolah unggulan dengan dana pribadinya sendiri dan gratis?" kata Satria kepada Alinea.id, Kamis (16/1).

Satria meyakini akan ada banyak konglomerat yang bersedia dilibatkan dalam membangung sekolah-sekolah unggulan. Dengan menyiapkan sekolah berkualitas bagi masyarakat, citra para konglomerat dan perusahaan yang mereka kelola akan terdongkrak. Figur-figur konglomerat itu juga dianggap lebih membumi. 

"Mengapa Prabowo tidak menggerakkan para konglomerat untuk masing-masing membuat sekolah unggul seperti Pak Luhut? Kalau Pak Luhut saja bisa, Sampoerna Foundation, Djarum Foundation, dan yayasan-yayasan pendidikan yang dibangun oleh para konglomerat juga pasti bisa," kata Satria.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan