close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi aktivitas penyadapan. /Foto Flaticon
icon caption
Ilustrasi aktivitas penyadapan. /Foto Flaticon
Peristiwa
Selasa, 25 Maret 2025 19:43

Bahaya tumpang-tindih aturan penyadapan

Selain di KUHAP, mekanisme penyadapan juga dibahas di revisi UU Polri.
swipe

Regulasi menyangkut penyadapan potensial tumpang-tindih. Selain dibahas dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan mengenai sadap-menyadap juga kini menjadi salah satu poin revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (UU Polri). 

Dalam draf revisi UU Polri Pasal 14 ayat (1) huruf o RUU Polri, disebutkan bahwa Polri bisa melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai penyadapan. Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus penyadapan. 

Di draf revisi KUHAP, mekanisme penyadapan dibahas jauh lebih rinci. Aturan mengenai penyadapan tercantum pada Pasal 124 hingga 128. Pada Pasal 124 beleid itu tertulis bahwa penyadapan harus atas seizin ketua pengadilan negeri.

Penyadapan tanpa izin ketua pengadilan negeri baru dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak, yakni ketika ada potensi terjadi bahaya maut atau ancaman luka berat, telah terjadi permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi. 

Pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), aturan mengenai penyadapan juga sudah ada. Disebutkan dalam beleid itu, KPK hanya perlu meminta izin kepada pimpinan untuk melakukan penyadapan. 

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak berpendapat aturan main penyadapan dalam KUHAP cocok untuk penyidik Polri. Ia menegaskan KPK dipastikan tidak akan terpengaruh dengan substansi baru terkait penyadapan di revisi KUHAP. 

“Dengan demikian, berdasarkan asas lex spesialis derogat legi generalis, KPK dapat saja melakukan penyadapan berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tanpa perlu mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP,” ucap Tanak dalam keterangan tertulis, Senin (24/3) lalu. 

Sebelumnya, DPR juga sempat menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan. RUU itu sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2015-2019. Namun, pembahasan RUU itu terhenti hanya pada tahapan perumusan. 

Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto mengatakan regulasi yang mengatur mekanisme penyadapan urgen seiring perkembangan kompleksitas kejahatan dan teknik investigasi. Apalagi, KUHAP yang berlaku saat ini hanya mengenal lima upaya paksa, yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. 

"Sebagai konsekuensinya, tindakan penyadapan tidak hanya diatur dalam RUU KUHAP, namun juga dalam berbagai RUU atau UU yang di dalamnya mengatur suatu lembaga yang salah satu perannya di bidang penegakan hukum. Contohnya UU KPK sebagai landasan hukum bagi penyidik KPK," kata Wisnu, sapaan akrab Wisnubroto, kepada Alinea.id, Selasa (26/3).

Wisnu berpendapat regulasi mengenai penyadapan harus diatur jauh lebih rinci dalam revisi KUHAP. Selain itu, supaya tidak ada tumpang tindih kewenangan, perlu ada harmonisasi pasal-pasal di masing-masing UU yang mengatur penyadapan. 

Harmonisasi dan peninjauan ulang juga diperlukan supaya penyadapan tidak dijalankan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Wisnu mencontohkan poin yang mengatur kewenangan penyadapan tanpa seizin ketua pengadilan di draf RUU Polri. 

Di luar untuk kepentinganpenyelidikan dan penyidikan tindak pidana, kepolisian bisa menjalankan penyadapan demi menjalankan fungsi pengumpulan informasi intelijen dan keamanan (intelkam). "Dalam hal ini, Polri bisa melakukan penyadapan tanpa izin," jelas Wisnu. 

Menurut Wisnu, kewenangan penyadapan tanpa izin untuk alasan intelkam yang nantinya dimiliki Polri potensial disalahgunakan. Tanpa pembatasan yang jelas, penyidik Polri bisa melakukan penyadapan yang potensial melanggar hak asasi manusia, menerobos privasi warga negara, dan membatasi kemerdekaan berekspresi.

Bukan tidak mungkin, lanjut Wisnu, kewenangan itu tumpang tindih dengan yang dimiliki lembaga negara lain, semisal Badan Intelijen Negara (BIN). 

"Dengan demikian, terkait dengan kewenangan yang berpotensi mengancam kebebasan individu dan hak asasi manusia, aturan mengenai itu harus dirumuskan secara cermat, jelas, lengkap dan hati-hati. Dalam hal ini, proses penyusunan RUU KUHAP dan RUU Kepolisian harus transparan dan melibatkan seluas mungkin partisipasi publik," kata Wisnu. 

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar berpendapat semua tindakan penyadapan untuk urusan penegakan hukum semestinya ikut aturan dalam KUHAP. Artinya, semua kegiatan penyadapan untuk mengungkap kasus pidana harus seizin ketua pengadilan. 

"Penyadapan itu termasuk upaya paksa, seperti halnya juga penangkapan, penahanan, penetapan tersangka,  penggeledahan, dan penyitaan. Kalau untuk kepentingan yuridis tunduk pada KUHAP ," kata Fickar kepada Alinea.id, Senin (25/3).

Menurut Fickar, penyadapan baru dibolehkan tanpa izin ketua pengadilan jika tujuannya untuk kepentingan nonyuridis. "Maka, berlaku aturan (UU) masing masing instansi. Karena itu, ada yang namanya divisi intel. Tetapi, hasil penyadapan ini tidak bisa menjadi alat bukti," ujar Fickar. 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan