Dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Aan Suhanan di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta pekan lalu, anggota Komisi III DPR Sarifuddin Sudding mengusulkan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) masa berlakunya seumur hidup, seperti penerbitan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Menurut Sarifuddin, seperti dikutip dari Antara, penerbitan SIM, STNK, dan TNKB berlaku seumur hidup bisa meringankan beban masyarakat. Sebab, biaya untuk perpanjangan sangat besar dan masyarakat kerap menemukan hambatan saat mengurus surat-surat berkendara itu. Apalagi, kata dia, perpanjangan surat-surat berkendara tersebut hanya menguntungkan vendor pengadaan.
“Kepentingan pengusaha, bukan untuk mengejar target PNBP (penerimaan negara bukan pajak),” kata Sarifuddin, dikutip dari Antara.
Mengutip Kompas, masa berlaku SIM pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada September 2023. Ketika itu, pemohon Arifin Purwanto mengajukan uji materi Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur SIM berlaku lima tahun dan dapat diperpanjang. Arifin meminta MK menyatakan SIM berlaku seumur hidup karena alasan bisa menguntungkan rakyat dan pemerintah bisa berhemat. Namun, MK yang kala itu dipimpin Anwar Usman menolak permohonan itu.
Menurut pemerhati masalah transportasi dan hukum sekaligus mantan Kepala Sub Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas (Kasubdit Gakkum Ditlantas) Budiyanto, SIM bukan sekadar dokumen administratif. Melainkan bukti legitimasi kompetensi seseorang dalam mengemudikan kendaraan. Dia menekankan, kompetensi pengemudi bersifat dinamis dan bisa berubah seiring waktu.
“Kesehatan fisik dan mental pengemudi bisa berubah. Padahal, persyaratan membuat SIM harus sehat jasmani dan rohani, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan psikolog,” ujar Budiyanto kepada Alinea.id, Selasa (10/12).
“Masa berlaku SIM yang ditetapkan lima tahun bertujuan untuk memastikan kompetensi dan kesehatan tetap terjaga.”
Budiyanto mengingatkan, pengkajian mendalam diperlukan, jika wacana SIM seumur hidup akan diterapkan. Hal ini harus mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari hukum, keamanan, ekonomi hingga sosial.
Apalagi, angka kecelakaan cukup tinggi. Merujuk data Integrated Road Safety Management System (IRSMS) Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, dari Januari hingga Oktober 2024 terjadi 220.647 kecelakaan lalu lintas, dengan 22.970 korban jiwa. Sepeda motor mendominasi, dengan 169.559 kasus. Diikuti angkutan barang 22.609 kasus, angkutan orang atau bus 17.651 kasus, dan mobil penumpang 5.262 kasus.
Budiyanto menyebut, sebagian besar kecelakaan disebabkan faktor human error, termasuk kelalaian dan kurangnya kompetensi pengemudi. Angka ini menunjukkan, kompetensi berkendara tidak bisa dianggap sepele. Peningkatan kualitas pengemudi dan sistem pengawasan, termasuk penerbitan SIM, kata dia, harus menjadi prioritas utama untuk menekan angka kecelakaan.
Dia melanjutkan, wacana SIM seumur hidup memang menawarkan efisiensi administratif. Akan tetapi, keselamatan dan kompetensi pengemudi harus tetap menjadi fokus utama.
“Para pemangku kepentingan diharapkan dapat melakukan kajian mendalam, sebelum membaut keputusan, guna memastikan setiap pengemudi di jalan raya memiliki kemampuan dan tanggung jawab yang memadai,” kata Budiyanto.
Terpisah, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menilai, SIM merupakan bukti kompetensi seseorang dalam mengemudikan kendaraan. Namun, dia menyayangkan adanya praktik jual-beli SIM, terutama di daerah.
“Kalau orang tidak bisa mengendarai kendaraan, tapi punya SIM, ini tanggung jawab polisi,” ujar Djoko, Selasa (10/12).
Pengamat transportasi ini pun mengusulkan agar pendidikan dan pelatihan mengemudi tidak lagi dikelola oleh kepolisian, tetapi Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Di sisi lain, menurut Djoko, jika wacana SIM seumur hidup tetap dipaksakan, harus ada jaminan setiap orang yang memegang kartu mengemudi itu benar-benar punya kompetensi berkendara.
“SIM itu menyangkut keselamatan dan nyawa orang di jalan. Kalau kecelakaan terjadi, polisi juga memiliki tanggung jawab moral,” kata Djoko.