close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo menerima penghargaan Medali Kehormatan Keamanan dan Keselamatan serta gelar Warga Kehormatan Korps Brimob dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo di Mako Korps Brimob, Depok, Jawa Barat, Senin (14/10/2024)./Foto Vico dan Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden/Instagram @jokowi
icon caption
Presiden Joko Widodo menerima penghargaan Medali Kehormatan Keamanan dan Keselamatan serta gelar Warga Kehormatan Korps Brimob dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo di Mako Korps Brimob, Depok, Jawa Barat, Senin (14/10/2024)./Foto Vico dan Rusman/Biro Pers Sekretariat Presiden/Instagram @jokowi
Peristiwa - Korupsi
Minggu, 20 Oktober 2024 06:04

Bersih-bersih internal sebelum Kortas Tipikor Polri memberantas korupsi

Kortas Tipikor Polri dibentuk dengan terbitnya Peraturan Presiden  (Perpres) Nomor 122 Tahun 2024.
swipe

Menjelang pensiun, Presiden Joko Widodo atau Jokowi membentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri. Pembentukan itu ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden  (Perpres) Nomor 122 Tahun 2024, yang diteken pada Selasa (15/10). Kortas Tipikor Polri merupakan hasil pengembangan dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) yang semula berada di bawah naungan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Dalam ketentuan terbaru di Pasal 20A ayat (1) Perpres 122/2024, Kortas Tipikor tidak lagi berada di Bareskrim Polri, tetapi akan menjadi unsur pelaksana tugas pokok yang bertanggung jawab langsung kepada Kapolri. Di dalam Kortas Tipikor Polri ada Direktorat Pencegahan, Direktorat Pendidikan, dan Direktorat Penelusuran dan Pengamanan Aset.

Menurut Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini, Kortas Tipikor Polri harus punya garis pembatas kewenangan yang jelas dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam agenda pemberantasan korupsi. Tujuannya, agar tidak terjadi benturan atau kompetisi yang tidak sehat antarkedua institusi tersebut.

“Ini penting untuk mencegah adanya potensi penyalahgunaan kewenangan dari dua lembaga itu, termasuk tumpang tindih,” kata Orin kepada Alinea.id, Jumat (18/10).

Orin menilai, Polri juga bukan lembaga yang punya reputasi luar biasa dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, Polri sering mendapat sorotan tajam dari publik karena beberapa personelnya bermasalah secara profesionalisme dalam penanganan kasus.

“Sampai dengan kasus yang melibatkan oknum pada lembaganya sendiri,” ucap Orin.

Orin memandang, sebelum mengembangkan Kortas Tipikor semestinya Polri meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, termasuk dalam penegakan hukum supaya mendapat kepercayaan dan punya citra yang baik.

“Sebab memberikan tugas memberantas korupsi pada lembaga yang tidak punya reputasi yang baik di mata masyarakat, justru berpotensi memperkuat perspektif dan budaya permisif terhadap pemberantasan korupsi,” tutur Orin.

Sementara peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan, pengembangan Kortas Tipikor Polri merupakan bentuk transformasi internal Polri dalam bidang penanganan kasus korupsi. Namun, Zaenur menilai, transformasi ini belum tentu menjanjikan peningkatan kualitas Polri dalam memberantas korupsi.

“Kemudian apakah ini akan melemahkan KPK? Tidak ada kaitannya saya pikir. Karena politik hukum negara itu masih menghendaki lembaga negara yang bersifat independen,” kata Zaenur, Jumat (18/10).

“Untuk saat ini, posisi KPK yang tidak independen karena revisi UU KPK. Bukan karena kelembagaan di eksternal KPK itu sendiri.”

Zaenur menilai, Kortas Tipikor Polri tidak akan melampaui kewenangan KPK. Sebab, selama ini level kasus korupsi yang ditangani KPK jauh lebih rumit dan berisiko dibandingkan yang ditangani Polri.

“Selama ini peran Polri dalam pemberantasan korupsi di bawah KPK, apalagi Kejaksaan. Dilihat dari kasus yang ditangani itu, tidak lebih strategis dibanding kasus-kasus yang ditangani KPK dan Kejaksaan,” ucap Zaenur.

Meski demikian, Zaenur sepakat bila Polri seharusnya membersihkan internal terlebih dahulu dari perilaku korupsi, sebelum terjun melakukan pemberantasan korupsi. Alasannya, citra “polisi korup” relatif masih melekat.

“Pemberantasan korupsi kompleks, yang menjadi problem adalah korupsi di internal Polri itu sendiri,” kata Zaenur.

“Saya melihat yang menjadi tantangan dalam pemberantasan korupsi itu adalah agar Indonesia punya sapu yang bersih. Saya berharap Kortas Tipikor juga punya komitmen pemberantasan korupsi tidak hanya eksternal, tapi juga internal di dalam tubuh institusi penegak hukum itu sendiri.”

Menurut Zaenur, Polri seharusnya memiliki komitmen memerangi korupsi di tubuh internal. Setelah itu, baru bisa berkompetisi secara sehat dengan KPK dalam memberantas korupsi. Jika Polri belum bisa membersihkan perilaku korupsi di internal, maka muskil berharap bisa mengungkap kasus korupsi sekaliber KPK.

“Kalau institusi penegak hukum itu bersih, maka bisa diharapkan punya kerja pemberantasan korupsi yang bersih,” ucap Zaenur.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan