Pada Sabtu (24/8) Polda Metro Jaya sendiri mengklaim sudah membebaskan sebanyak 301 orang yang ditangkap saat aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR. Namun, masih ada seorang lagi yang masih menjalani pemeriksaan intensif. Para pengunjuk rasa ditangkap Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Timur, Polres Metro Jakarta Pusat, Polres Metro Jakarta Barat, dan jajaran polsek. Kemudian, Polda Metro Jaya menetapkan ada 19 orang yang menjadi tersangka karena dianggap tak patuh membubarkan diri.
Sebelumnya, Jumat (23/8), Muhammad Afif Qoyim dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat sekaligus Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mencatat, setelah aksi massa di sekitar kawasan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menolak pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada pada Kamis (22/8) ada 39 orang yang ditangkap. Pendampingan hukum terhadap mereka, kata Afif, terus dilakukan.
“Di antaranya (yang ditangkap) terdapat anak-anak,” kata Afif kepada Alinea.id, Jumat (23/8).
Menurut Afif, penangkapan tersebut adalah tindakan kriminalisasi yang bisa menyebabkan tekanan psikologis. Tujuannya, kata Afif, agar mereka tidak melakukan demonstrasi lagi. Pihaknya pun menemukan, banyak yang mengalami luka-luka. Belum lagi, ada dugaan membebaskan mereka dengan sejumlah uang tebusan.
“Kami mendengar (permintaan penebusan uang) itu, tapi lagi-lagi justru kami mendorong kepolisian untuk membebaskan demonstran tanpa syarat,” ujar dia.
Dalam catatannya, sudah ada beberapa orang yang dibebaskan pada Jumat (23/8). Dia mengatakan, pada sebuah unit diketahui ada enam orang yang dicatat “positif”. Namun, Afif mengaku belum mengetahui arti keterangan “positif” itu. Pada unit lainnya, ada dua orang yang dibebaskan, dari tujuh orang yang ditangkap.
Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto meniai, paradigma kepolisian harus terus dikembalikan pada slogan yang tertempel, yakni melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Hal itu, kata Bambang, adalah tugas, pokok, dan fungsi dari Korps Bhayangkara.
Sayangnya, alih-alih menerapkan slogan itu, polisi malah melakukan kekerasan kepada massa aksi, seperti yang terjadi pada pengunjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR dan beberapa kota lainnya saat protes wacana pengesahan UU Pilkada.
Menurutnya, tidak ada representasi dari melindungi dan mengayomi masayrakat dari perlakuan represif aparat terhadap peserta unjuk rasa. Padahal, keselamatan warga lebih penting daripada bangunan fisik yang juga dibiayai masyarakat.
“Agar tak mengulang lagi kekerasan pada peserta aksi, sudah jelas tupoksi (tugas, pokok, fungsi) kepolisian adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” kata Bambang, Jumat (23/8).
Sederhananya, kata Bambang, aparati kepolisian harus memiliki pemikiran sebagai bagian dari masyarakat. Bukan alat representasi pemerintah untuk membungkam suara rakyat. Apalagi para petugas menempatkan masyarakat dengan posisi berhadapan sebagai lawan.
Meski begitu, sanksi tegas terhadap anggota kepolisian yang represif hanya sebatas retorika. Sebab, Bambang melihat, sebenarnya sudah ada aturan untuk mendisiplinkan anggota kepolisian yang represif, tetapi tindakan yang sama kembali terjadi.
Maka dari itu, dia menekankan, yang lebih penting adalah konsistensi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menegakkan peraturan. “Apakah benar-benar memberi sanksi tegas pada anggotanya yang melakukan kekerasan atau hanya sebatas retorika normatif belaka?” ucap Bambang.
Dia pun mengingatkan, jika kekerasan ini terus terjadi, artinya memang sudah tak ada lagi yang bisa diharapkan dari kepolisian. “Kalau itu yang terjadi, masyarakat tentu akan mencari saluran-saluran lain untuk melindungi dirinya sendiri,” tutur Bambang.
“Bisa melalui tekanan internasional maupun meminta perlindungan dari aparat militer.”