Masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah berada dalam bayang-bayang ketidakpastian. Dalam konteks pemberantasan korupsi yang semakin kompleks, tanda-tanda pelemahan lembaga anti rasuah itu justru semakin nyata.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas bahkan sempat menyebut pembubaran KPK bisa dilakukan jika tiga undang-undang (UU) baru disahkan, yakni UU Partai Politik, UU Perampasan Aset, dan UU Pembatasan Uang Kartal. Ketiga UU itu masih dibahas di DPR.
Teranyar, Supratman mewacanakan denda damai bagi koruptor yang mengembalikan duit hasil korupsi. Denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.
"Tanpa lewat presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai," kata Supratman seperti dikutip dari Antara.
Wacana kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi juga sempat diutarakan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo menyebut membuka pintu maaf bagi koruptor yang mengembalikan duit yang mereka garong.
Eks juru bicara KPK Johan Budi menilai upaya pelemahan KPK berlangsung secara terus-menerus. Sejak Undang-Undang KPK direvisi pada 2019, lembaga antirasuah itu terus dilucuti kewenangannya, mulai dari pembentukan Dewan Pengawas hingga penyadapan yang diperketat.
“Pemerintah sebaiknya tidak menganggap bahwa dengan membubarkan KPK, masalah korupsi akan selesai begitu saja. Ini adalah anggapan yang keliru,” ujar Johan saat berbincang dengan Alinea.id, belum lama ini.
KPK, kata Johan, masih sangat dibutuhkan. Ia berkaca pada kasus-kasus korupsi yang terus merajalela. Pada 2022, misalnya, KPK mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai lebih dari Rp28 triliun.
“Sebaliknya, KPK harus dikuatkan agar dapat bekerja lebih maksimal dalam menindak kasus-kasus korupsi yang semakin kompleks,” ujar politikus PDI-Perjuangan itu.
Selain persoalan kelembagaan, reformasi birokrasi juga menjadi isu mendesak dalam upaya pemberantasan korupsi. Struktur organisasi yang tidak efisien, rendahnya penerapan sistem merit, serta pendapatan ASN yang belum layak dianggap sebagai akar persoalan.
Ekonom senior Kwik Kian Gie upaya pemberantasan korupsi tak bisa hanya diserahkan kepada KPK saja. Perlu ada reformasi birokrasi di semua institusi negara yang mengutamakan prinsip “structure follows strategy” demi memastikan setiap organisasi bekerja secara optimal.
Menurutnya, pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung fokus pada pendekatan represif. Namun, fakta menunjukkan bahwa efek jera belum terlihat signifikan. Itu terlihat dari jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK yang terus meningkat.
Pada 2022, KPK tercatat menggelar 113 operasi tangkap tangan (OTT). Angka itu naik dari 96 OTT pada 2021. Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi belum mampu menekan keinginan para pelaku untuk terus beraksi.
“Yang dilakukan oleh sangat banyak orang, terutama di Indonesia, struktur organisasi digambar terlebih dahulu. Setelah itu barulah kotak-kotak yang ada dalam struktur organisasi diisi dengan orang-orang yang akan bekerja dalam organisasi yang bersangkutan. Prosedur ini sangat salah karena tanpa mengetahui apa yang hendak dituju organisasi ditentukan terlebih dahulu,” kata Kwik.
Kwik Kian Gie menyarankan hukuman mati sebagai langkah terakhir jika semua upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi gagal. Meski kontroversial, ide itu mencerminkan keputusasaan terhadap lemahnya efek jera.
“Hukuman mati banyak bentuknya, seperti hukuman gantung, hukuman tembak, hukuman injeksi atau hukuman dengan guillotin. Eksekusi mati dilakukan secara terbuka di alun-alun. Kita pilih cara yang paling tidak sakit dengan deterrent effect yang paling besar,” ucapnya.
Eks Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo Harahap meyakini KPK akan tetap eksis dan dibutuhkan negara sebagai salah satu lembaga pemberantas korupsi. Namun, ia sepakat perlu ada dukungan regulasi dan keberpihakan pemerintah untuk memperkuat kewenangan KPK.
“Masa depan KPK tentu masih ada ya, karena kan dasarnya UU KPK. Bagi saya KPK akan tetap eksis kalau KPK masih punya kinerja yang baik dalam pemberantasan korupsi. Artinya tentu evaluasi di kinerja dan independen dalam menangani kasus besar,” jelas Yudi.