Catatan miring kinerja Polri selama 2024: Waktunya berbenah
Sepanjang 2024 terdapat sejumlah catatan miring kinerja Polri, yang menjadi sorotan publik. Bukan hanya masalah internal institusi, beberapa kasus hukum pun belum diselesaikan.
Misalnya kasus pembunuhan seorang kader Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Riyas Nuraini, yang jasadnya ditemukan dalam karung di tengah kebun jagung di Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur pada Kamis (18/7). Pelaku pembunuhan pelajar SMA berinisial SAL dengan luka tusuk di bagian leher, yang jasadnya tergeletak di kamar indekosnya di Kecamatan Poso Kota Utara, Sulawesi Tengah, pada Senin (21/10) pun belum terungkap.
Belum lagi kasus hukum yang sudah berlalu lama. Contohnya, beberapa waktu lalu, Komisi III DPR menerima laporan seorang warga Surakarta, Jawa Tengah bernama Yudi Setiasno soal dugaan pemerkosaan terhadap istri dan anaknya pada 2017 lalu.
Pemerkosaan itu diduga dilakukan seorang mahasiswa yang indekos di tempat mereka. Laporan sudah diajukan enam tahun lalu, tetapi hingga kini belum ada keadilan bagi korban. Tahun 2018, polisi menerbitkan hasil visum yang menyatakan istri Yudi berinisial ADW dan anaknya berinisial KDY adalah korban pemerkosaan.
Namun, pada 16 Mei 2018, polisi menyatakan tak ada tindak pidana yang ditemukan. Celakanya, Yudi malah dituduh sebagai pelaku. Dia pun mengalami perlakuan tak menyenangkan, dengan ditahan di ruang penyidik selama tiga hari tanpa alasan yang jelas.
Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, selain masih banyak kasus hukum yang belum mampu diselesaikan Polri sepanjang 2024, Korps Bhayangkara pun punya banyak catatan hukum yang dilakukan oknum institusi sendiri.
Sayangnya, penanganan yang dilakukan tidak serius. Perlakuan yang tebang pilih dalam pemberian sanksi pada anggota berakibat menimbulkan kecemburuan yang merugikan institusi. Hanya anggota bawahan saja yang dihukum tegas.
Contohnya, kasus percaloan penerimaan Bintara Polri 2022. Dalam sidang pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa (17/12) terhadap dua mantan anggota Polda Jawa Tengah, Brigadir Dwi Erwinta Wicaksono dan Bripka Zainal Abidin, keduanya dinilai menerima suap dengan total Rp2,6 miliar atas peran sebagai calo penerimaan Bintara Polri 2022.
Padahal, menurut Sugeng, percaloan penerimaan bintara di Polda Jawa Tengah pada 2022 dari hasil operasi tangkap tangan Paminal Polri, cukup banyak yang terlibat.
Pada akhirnya, kejahatan tangkap tangan oleh Divisi Propam Polri yang awalnya dibongkar IPW bulan Maret 2023 menyeruak ke publik, dan menjadikan lima orang saja yang diproses, yakni Kompol KN, Kompol AR, AKP CS, Bripka Z, dan Brigadir EW. Kelima anggota Polda Jawa Tengah tersebut lalu dipecat, usai dilakukan sidang kode etik dan meneruskan proses pidana.
Janggalnya, dalam proses pidana, cuma dua orang yang disidang, yakni Dwi Erwinta Wicaksono dan Zainal Abidin. Sedangkan perwira yang terkena pemecatan tak jelas ujung pangkalnya.
Kasus yang juga menurut Sugeng aneh adalah beberapa anggota polisi yang sempat tersandung kasus penembakan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, dengan pelaku utama mantan Kadivpropam Polri Ferdy Sambo pada 2022 lalu, kini kembali lagi aktif bertugas. Bahkan, mendapatkan promosi. Salah satu yang mendapat promosi adalah Budhi Herdi Susianto, yang saat ramai kasus Sambo menjabat Kapolres Jakarta Selatan. Budhi dipromosikan menjadi Karowatpers dan menyandang pangkat brigjen.
“Sikap institusi Polri yang tidak tegas, terkesan melindungi anggotanya yang salah, serta menerapkan impunitas, tentu ke depannya akan berdampak sistemik, dianggap remeh oleh anggotanya sendiri,” kata Sugeng kepada Alinea.id, Senin (23/12).
Terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai, kasus hukum yang tidak selesai ditangani Polri sepanjang 2024, serta banyaknya masalah di internal adalah tanda mandeknya reformasi kepolisian. Sebab, tidak ada sistem pertanggung jawaban kepolisian kepada negara. Sementara Parlemen, setiap tahun nyaris hanya sekadar alat legitimasi saja dari evaluasi pelaksanaan kebijakan kepolisian.
“Alhasil, selama Presiden tidak mempermasalahkan Kapolri, dianggap seolah kepolisian baik-baik saja,” kata Bambang, belum lama ini.
Bambang mengatakan, kasus-kasus yang tidak beres ditangani Polri sepanjang 2024 berakar pula dari masalah kompetensi personel kepolisian—menyangkut kualitas sumber daya manusia—dan paling utama adalah tak adanya sistem kontrol serta pengawasan yang konsisten dan bertanggung jawab.
“Hulunya adalah lemahnya kepemimpinan. Pemimpin yang lemah, tidak tegas, inkonsisten, dan permisif pada pelanggaran peraturan organisasi juga menjadi akar masalah,” ujar Bambang.
“Semua itu berdampak pada ketidakprofesionalan personel Polri dalam melaksanakan harkamtibmas, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, sekaligus tidak profesional dalam penegakan hukum.”
Bambang menjelaskan, selama 2024 banyak kasus yang menjadi sorotan publik. Mulai dari dugaan salah tangkap pelaku pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon—yang kasusnya terjadi pada 2016, tidak konsistennya pemberantasan judi online, polisi tembak polisi di Solok Selatan (Sumatera Barat), polisi tembak pelajar di Semarang (Jawa Tengah), hingga pemerasan wisatawan asing di acara Djakarta Warehouse Project (DWP).
“Tiada pertanggung jawaban secara institusional tentu saja menggerus kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum,” tutur Bambang.
Bambang menyarankan, yang harus dilakukan dalam waktu dekat adalah melakukan perombakan kepemimpinan Polri, mengevaluasi kinerja Kapolri, dan menata ulang personel. Berikutnya adalah membangun sistem kontrol dan pengawasan eksternal yang kuat, salah satunya membangun saluran pengaduan yang dipercaya oleh masyarakat.
“Semua itu hanya bisa dilakukan bila Presiden memiliki political will untuk membangun Polri yang lebih baik,” kata Bambang.
“Tanpa itu, sepertinya publik harus cukup puas dengan janji-janji surga atau retorika saja.”