close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kecelakaan bus. Alinea.id/Aisya Kurnia.
icon caption
Ilustrasi kecelakaan bus. Alinea.id/Aisya Kurnia.
Peristiwa - Kecelakaan
Kamis, 12 September 2024 06:05

Celaka berawal dari abai sistem keselamatan

Kecelakaan bisa disebabkan perusahaan angkutan abai terhadap kondisi kesehatan sopir.
swipe

Kecelakaan beruntun yang melibatkan truk tangki dan beberapa pengguna jalan terjadi di Jalan Plumpang Semper, Koja, Jakarta Utara pada Rabu (4/9) sore. Akibatnya, lima orang tewas dan tujuh lainnya luka-luka. Diduga, kecelakaan itu terjadi karena sopir truk tangki mengalami serangan jantung di tengah kondisi mobil masih berjalan.

Kemudian pada Jumat (6/9), seorang sopir bus Primajasa bernama Tami HR, 46 tahun, meninggal dunia saat sedang mengemudikan kendaraannya di Tol Cipali arah Jakarta kilometer 100+600, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sopir itu berada di belakang kemudi, sedangkan bus berhenti di pinggir jalan. Diduga, sang sopir mengalami serangan jantung.

Menurut Direktur Utama PT. Lookman Djaja Logistics—sebuah perusahaan ekspedisi angkutan darat yang menggunakan truk sebagai sarana utama pengiriman—Kyatmaja Lookman, untuk mengurangi risiko sopir mengalami kecelakaan di jalan akibat tak dalam kondisi prima atau sakit, perusahaan angkutan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan (SMK) sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 85 Tahun 2018 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum.

“Jika perusahaan-perusahaan ini mengimplementasikan SMK (sistem manajemen keselamatan) dengan melakukan cek kesehatan pengemudi, kejadian seperti di atas mungkin bisa dihindari,” ucap Kyatmaja kepada Alinea.id, Selasa (10/9).

Sayangnya, baru sekitar 160 dari 10.000-an perusahaan angkutan umum yang ada di Indonesia yang menerapkan SMK secara benar. Sebab, kata dia, belum semua perusahaan angkutan umum dikelola profesional.

“Truk itu kontributor kecelakaan nomor dua setelah (sepeda) motor. Di tengah kelangkaan pengemudi, ditambah tidak optimalnya implementasi SMK, maka kejadian seperti itu masih akan sering terjadi,” ujar Kyatmaja.

Dia menyebut, perusahaan angkutan umum yang tidak resmi juga sangat banyak dan sulit diharapkan berkenan menerapkan SMK dengan baik. Soalnya, banyak yang dikelola secara kekeluargaan.

“Sehingga membuat sistem manajemen merupakan hal yang rumit. Pelaksanaannya juga minim karena masalah biaya. Sistem manajemen memerlukan sumber daya dan kompetensi tidak sedikit,” tutur Kyatmaja.

Terpisah, pemerhati masalah transportasi dan hukum, Budiyanto menilai, pengemudi angkutan umum yang membahayakan penumpang dan pengguna jalan sebenarnya sudah dicegah lewat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Pada pasal 106 ayat (1) beleid itu menyebut, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib berlaku wajar dan penuh konsentrasi.

“Penuh konsentrasi di sini adalah saat mengemudikan ranmor (kendaraan bermotor) tidak boleh dalam (keadaan) sakit, lelah, menggunakan hp, nonton tv dan video yang terpasang di kendaraan, minum-minuman beralkohol, dan tidak boleh menggunakan obat terlarang,” ujar Budiyanto, Selasa (10/9).

Budiyanto mengatakan, seorang sopir yang merasakan kondisi tubuhnya tak fit, harus melakukan pemeriksaan kesehatan.Terlebih lagi bila sang sopir sudah memiliki riwayat penyakit jantung yang kronis.

“Sebaiknya cek secara rutin atau sebagai langkah mitigasi, bisa disiapin sopir cadangan,” ucap Budiyanto.

Sementara perusahaan angkutan umum tempat sang sopir bernaung juga mesti bertanggung jawab memberikan jaminan kesehatan agar tidak membahayakan ketika mengemudi di jalan. Oleh karena itu, senada dengan Kyatmaja, Budiyanto menilai, perusahaan angkutan umum yang berbadan hukum wajib memberlakukan SMK.

“Dalam SMK ada program perawatan kendaraan dan perawatan atau jaminan kesehatan kepada karyawannya, termasuk sopir,” kata Budiyanto.

Budiyanto memandang, sopir dan perusahaan angkutan harus sama-sama menjamin kesehatan. Meski dia tahu, realita di lapangan banyak perusahaan yang tidak peduli dengan kesehatan sopir.

“Dan sopir sendiri kerap tidak peduli dengan kesehatannya. Masih banyak yang abai terhadap kondisi demikian,” tutur Budiyanto.

Budiyanto melanjutkan, sopir yang membawa kendaraan di jalan dalam keadaan sakit sudah sangat sering menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Bahkan, tak jarang menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa. Di sisi lain, secara aturan, jika sopir meninggal ketika kecelakaan, maka kasus dihentikan. Namun, bila sopir masih hidup, proses hukum tetap berjalan.

“Pasal yang dikenakan kepada sopir (adalah) Pasal 310 (tentang kelalaian) atau Pasal 311 (ada unsur kesengajaan) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang LLAJ,” ucapnya.

Sedangkan perusahaan angkutan juga tetap bisa dituntut, jika memang terbukti mengabaikan SMK. Selain itu, kata dia, sudah semestinya perusahaan bertanggung jawab mengganti rugi materi dampak kecelakaan yang ditimbulkan akibat dari mempekerjakan sopir yang sakit atau rentan mengalami penyakit kambuhan.

“Bantuan dan atau ganti rugi yang diberikan kepada pihak korban, tidak menggugurkan kasus pidana, tapi sebagai pertimbangan yang meringankan bagi majelis hakim untuk memutus kasusnya,” ucap Budiyanto.

Dia mengingatkan, kasus kecelakaan yang disebabkan sopir sakit mendadak, jangan haya dilihat sebagai kesalahan pengemudi. Namun juga pihak terkait yang ada di pusaran kasus itu. Sebab, bisa jadi ada faktor lain yang membuat sopir kurang sehat, terpaksa membawa kendaraan.

“Sebaiknya penyidikan dilakukan secara komprehensif atau menyeluruh. Pihak-pihak terkait harus dimintai pertanggungan jawab secara hukum. Jangan hanya berkutat menyalahkan sopir,” kata dia.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan