Pemberian bantuan hari raya (BHR) yang digelontorkan Gojek, Grab Indonesia, dan perusahaan pengelola aplikasi lainnya dianggap tak memuaskan oleh para mitra. Sejumlah pengemudi ojek online mengeluhkan kecilnya BHR tunai yang disalurkan Gojek dan kawan-kawan.
Arif Tuwadji, 53 tahun, salah satunya. Meskipun sudah jadi mitra salah satu perusahaan pengelola aplikasi ojek daring sejak 2015, Arif mengaku tak dapat BHR sepeser pun.
"Tentunya sedih. Saya sudah lama jadi mitra Gojek, tapi enggak dapet apa-apa," ujar Arif saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Gojek memberlakukan sejumlah ketentuan dalam pemberian BHR. Besaran BHR kisaran Rp50 ribu hingga Rp1,5 juta. Jumlah perjalanan yang dilakukan pengemudi per hari dalam sebulan jadi parameter utama untuk menentukan BHR.
Menurut Arif, skema itu tak adil. “Saya juga ngojek biasanya cuma dapet satu pelanggan. Abis nganterin itu di tempat tujuannya, ga dapet lagi. Akhirnya saya pulang lagi nongkrong di deket rumah,” ujar Arif.
Arif juga mempertanyakan ukuran keaktifan pengemudi sebagai prasyarat BHR. Menurut dia, mayoritas rekannya yang aktif mencari penumpang hanya mendapatkan BHR tak lebih dari Rp100 ribu. Ia mendapati tak ada rekannya yang dapat BHR lebih dari Rp1 juta.
“Kebanyakan driver, walaupun nariknya banyak, tetap saja dapetnya Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Bahkan, ada yang enggak dikasih sama sekali,” ungkap Arif.
Bambang, 40 tahun, punya pemikiran serupa. Mitra pengemudi salah satu ojek online itu menilai berpendapat Gojek cs semestinya juga turut mempertimbangkan masa kerja para pengemudi sebagai ukuran pemberian BHR.
"Kami tidak puas karena driver berharap penilaian tidak mengarah kepada kinerja atau performa harian dan bulanan," kata Bambang saat ditemui Alinea.id di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Timur, belum lama ini.
Mitra yang berhak dapat BHR, kata Bambang, harus mempunyai jam online hingga 200 jam per bulan dan aktif selama 25 hari per bulan. Selain itu, mereka juga harus punya tingkat penyelesaian trip hingga sebanyak 90%.
Bambang sendiri mengaku hanya dapat BHR sebesar Rp50 ribu. "Harusnya penilaian terhadap kerja sama yang dijalankan dengan aplikator berdasarkan masa kerja terhadap aplikator, seperti jumlah tahun,” ujar Bambang.
Sebelumnya, pakar transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo mengatakan aplikator harus bertransformasi menjadi perusahaan transportasi. Dengan begitu, para pengemudi daring bisa diperlakukan seperti pegawai yang mendapat THR dan jaminan.
"Dari dulu mereka tidak mau. Dari awal, yang namanya Gojek dan Grab sudah menyatakan sebagai perusahaan e-commerce, yang karakteristik utamanya adalah dikelola secara virtual dengan minimum pegawai, tapi jaringannya luas," kata Sony.
Dalam lingkup bisnis niaga elektronik, menurut Sony, pedagang bisa menjadi pengusaha besar tanpa harus punya toko atau barang. Bahkan, perusahaan layanan pengantaran barang bisa besar tanpa punya banyak pengemudi dan kendaraan.
"Bisnis e-commerce di Indonesia belum ada aturan yang jelas. Saat ini yang mengatur hanya Kementerian Komunikasi dan Digital, tetapi itu ternyata hanya masalah penggunaan. Tidak ada aturan yang mengakitkan dengan hubungan mitra dan perusahaan, kewajian pajak dalam setiap transaksi e-commerce, dan sebagainya," kata Sony.