Kasus-kasus korupsi besar mulai diungkap aparat penegak hukum era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Teranyar, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina pada periode 2018-2023.
Dalam kasus ini, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional berinisial SDS dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping berinisial YF telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tersangka lainnya ialah VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional berinisial AP, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa berinisial MKAR, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim berinsial DW, GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim, serta Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
RS dan kawan-kawan terindikasi merekayasa agar readiness/produksi kilang PT Pertamina turun. Dengan begitu, pemerintah terpaksa mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu, Kejagung juga menduga PT Pertamina Patra Niaga merugikan konsumen karena membeli dan mendistribusikan bahan bakar oplosan.
RS dan kawan-kawan ditengarai membeli Pertalite untuk kemudian di-blend atau dioplos di depo/storage menjadi Pertamax. Pertalite dibeli dengan harga Pertamax. Kerugian negara dalam kasus tersebut ditaksir mencapai Rp193 triliun per tahun.
Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Mahfud Md meyakini kasus tersebut tak mungkin bakal diungkap Kejagung tanpa seizin Presiden Prabowo. Sebelum diungkap ke publik, Prabowo semestinya sudah mendapatkan informasi dari Kejagung.
"Kejaksaan Agung tidak akan berani itu kalau tidak mendapat izin dari Presiden. Oleh sebab itu, saya juga mengapresiasi Bapak Presiden membiarkan kejaksaan itu bekerja," kata Mahfud kepada wartawan di Solo, Jawa Tengah, akhir Februari lalu.
Komitmen antikorupsi pemerintah juga dipuji sejumlah kalangan saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam kasus dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku. Akhir Februari lalu, Hasto bahkan telah dihadiahi "rompi kuning."
Tak hanya Hasto, KPK juga menggarap kasus dugaan korupsi pengadaan di Pemkot Semarang yang diduga melibatkan kader PDI-P Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita. Bersama sang suami, Mbak Ita kini juga sudah jadi tahanan KPK.
Penahanan keduanya terjadi di tengah rencana pertemuan Prabowo dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Sempat muncul spekulasi PDI-P bakal merapat ke koalisi parpol pendukung Prabowo dengan syarat kader-kader PDI-P tak disentuh penegak hukum. Namun, spekulasi itu tak terbukti.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Agus Riewanto menilai pemerintahan Prabowo masih terkesan tebang pilih dalam menggarap kasus korupsi. Menurut dia, hanya kasus-kasus yang tak akan menggangu stabilitas politik yang diizinkan digarap serius oleh penegak hukum.
"Pemerintahan Prabowo sangat berhati- hati. Dia sangat memilih kasus. Jika berdampak pada stabilitas nasional, dia tidak lanjutkan. Kalau kecil dia lanjutkan. Seperti kasus Hasto dari PDI-P. Kan sudah meredup sehingga kalau dilanjutin enggak terlalu berdampak," kata Agus kepada Alinea.id, Jumat (7/3).
Adapun dalam kasus korupsi Pertamina, menurut Agus, Prabowo mengizinkan Kejagung menggarapnya lantaran kasus tersebut bisa mempengaruhi stabilitas ekonomi dan politik nasional. Ada kekhawatiran mafia migas juga meracuni elite-elite politik yang saat ini duduk di pemerintahan.
"Bisa jadi masuk juga ke kelompok Prabowo. Beberapa komisaris juga tim sukses Prabowo. Jadi, mungkin akan menggangu stabilitas politik. Harapan saya tentu Prabowo tetap berhati-hati, tetapi tidak melihat politik mainstream. Jadi, tanpa pandang bulu," kata Agus.
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi dan Masyarakat (SIDEKA) Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama mengatakan pemberantasan korupsi saat ini yang masih mengikuti selera penguasa.
"Setiap yang melakukan pelanggaran atau kejahatan sudah sepatutnya mendapatkan hukuman atas apa yang dilakukan. Proses hukum pada orang-orang yang sebelumnya menjadi lawan politik jika perbuatan yang dilakukan salah," kata Suwardi kepada Alinea.id, Jumat (7/3).
Suwardi sepakat penegak hukum pada era pemerintahan Prabowo semestinya tak pandang bulu. Apalagi, Prabowo berulang kali menegaskan komitmennya membangun pemerintahan yang bersih tanpa korupsi.
"Jangan sampai hanya menjadi gimmick agar mendapatkan respons positif dari masyarakat dan parahnya apabila (penegakan hukum) hanya berlaku pada yang berseberangan. Jadi, agar (mereka) tidak bersuara lantang lagi," kata Suwardi.