Kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan terus berulang. Sepanjang tiga bulan pertama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat sudah ada lebih dari 10 laporan serangan terhadap wartawan dan redaksi yang masuk ke lembaga itu.
Yang paling fenomenal ialah pengiriman kepala babi ke kantor grup media Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan pada Rabu, 19 Maret 2025. Tempo juga dikirimkan bangkai tikus pada Sabtu 22 Maret 2025.
Februari lalu, seorang wartawan juga mendapat intimidasi saat mewawancarai Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jakarta. Sang jurnalis ingin mendapatkan keterangan soal kelanjutan kasus prajurit TNI yang menyerbu Polres Tarakan di Kalimantan Utara.
Beberapa hari lalu, seorang jurnalis ditempeleng anak buah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berinisial Ipda E saat meliput kegiatan di Stasiun Tawang, Semarang, Jawa Tengah. Kapolri bahkan harus meminta maaf secara terbuka karena peristiwa itu.
Direktur LBH Pers Mustafa Layong mengatakan serangkaian kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan di lapangan kian mengkhawatirkan. Ia merinci sejumlah faktor yang menyebabkan kasus-kasus serangan terhadap insan pers terus berulang.
Pertama, personel Polri dan TNI ditengarai tidak memahami hak publik atas informasi melalui jurnalis dan media. Terkait itu, Mustafa menyarankan Polri dan TNI memperbarui materi hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan berekspresi dalam kurikulum pembelajaran bagi personel di kedua institusi itu.
Kedua, minimnya efek jera. Itu tergambar dalam penelitian LBH Pers bersama ICJR dan IJRS pada 2021. Dalam riset itu berbasis survei itu, diketahui sebanyak 60% jurnalis korban kekerasan enggan melaporkan kasus kekerasan yang dialami mereka.
"Salah satu faktornya adalah banyaknya kasus-kasus impunitas. Saat melakukan pengaduan, (korban mengaku) sering kali laporan tidak diterima atau tidak ditindaklanjuti," kata Mustafa kepada Alinea.id, Senin (7/4).
Di lain sisi, kebebasan di ruang redaksi juga melemah. Wartawan-wartawan yang kritis, kata Mustafa, merasa tak dilindungi oleh redaksi mereka ketika meliput atau memberitakan peristiwa "sensitif" yang punya dampak besar.
"Dalam beberapa kasus, justru ruang redaksi mengarahkan jurnalis berdamai dengan pelaku. Belum lagi, belakangan muncul narasi media itu disponsori asing, antek asing, dan lain-lain. Narasi itu banyak diorkestrasi untuk mendelegitimasi posisi pers," jelas Mustafa.
Untuk mencegah kian memburuknya kebebasan pers, Mustafa berpendapat komunitas pers harus bersikap tegas terhadap setiap bentuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis. Media dan jurnalis juga harus serempak terus mengawal penegakan hukum dalam kasus-kasus serangan terhadap insan pers.
"Poin terakhir, DPR bersama lembaga terkait sedang menyusun mekanisme koordinasi dan penanganan kasus kekerasan. Mekanisme ini diharapkan dapat sedikit mengurai benang kusut dalam proses penegakan hukum terhadap kasus kekerasan terhadap pers," kata Mustafa.
Hambatan terhadap kerja-kerja jurnalistik juga "tercium" dari terbitnya Perpol Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan terhadap Orang Asing. Dalam perpol itu, jurnalis asing yang ingin meliput di Indonesia wajib mengantongi surat keterangan kepolisian.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan menilai maraknya intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan ada kaitannya dengan disahkannya revisi UU TNI serta pembahasan revisi UU Polri yang sedang berproses di DPR.
Revisi UU TNI, kata Halili, jelas menunjukkan keberpihakan rezim kepada institusi itu. Demikian pula, poin-poin revisi UU Polri yang terkesan bakal membuat kepolisian kian superior dengan beragam kewenangan baru.
"Ketika mereka dengan gampang melakukan intimidasi, dan melakukan ancaman terhadap wartawan, itu menunjukkan sesungguhnya bahwa aparat kita itu punya kecenderungan superior belakangan ini," kata Halili kepada Alinea.id, Senin (7/4).
Tak hanya kebebasan pers, Halili menilai supremasi sipil juga terancam jika kerja-kerja jurnalistik dihambat lewat intimidasi dan kekerasan. Menurut Halili, harus ada sanksi tegas kepada pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan.
Di lain sisi, kasus-kasus serangan terhadap insan pers juga mesti serius diungkap aparat kepolisian. "Kalau tidak ada penegakan hukum pasti itu akan menjadi semacam angin segar bagi terjadinya ancaman pelanggaran kebebasan pers," kata Halili.