close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pelukis asal Surabaya, Yos Suprapto. /Foto Instagram @yos_suprapto
icon caption
Pelukis asal Surabaya, Yos Suprapto. /Foto Instagram @yos_suprapto
Peristiwa
Senin, 24 Februari 2025 14:14

Dari Yos hingga Sukatani: Saat ekspresi seni menyentil rezim

Lagu Bayar Bayar Bayar karya band Sukatani jadi mars dalam aksi unjuk rasa bertema Indonesia Gelap.
swipe

Setelah ditarik dari berbagai platform digital, lagu "Bayar Bayar Bayar" karya band Sukatani justru kian viral. Dalam berbagai aksi protes bertema Indonesia Gelap, lagu yang isinya mengkritik perilaku korup oknum kepolisian itu dikumandangkan. Di Youtube dan media sosial lainnya, warganet ramai-ramai mengunggah lagu tersebut. 

Sebelumnya, tak banyak yang tahu siapa Sukatani. Band asal Purbalingga, Jawa Tengah, itu baru ramai diperbincangkan setelah mengunggah permintaan maaf kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit di akun Instagram mereka. 

“Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami yang berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’,” kata Muhammad Syifa Al Ufti alias Alectroguy, gitaris Sukatani dalam sebuah video di Instagram, Kamis (20/2). 

Beragam spekulasi menyeruak di media sosial. Warganet menduga Sukatani ditekan polisi supaya minta maaf. Apalagi, kedua penggawa Sukatani muncul tanpa mengenakan topeng. Setiap kali manggung, Novi Citra Indriyanti yang sehari-hari berprofesi sebagai guru dan Alectroguy selalu memakai topeng demi menyembunyikan identitas mereka. 

Kencangnya kritik publik bikin Polri gerah dan terkesan berbalik arah. Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri diturunkan untuk minta penjelasan dari anggota Direktorat Reserse Siber (Ditressiber) Polda Jawa Tengah (Jateng). Polda Jateng sebelumnya mengakui meminta klarifikasi ke Sukatani soal lagu "Bayar Bayar Bayar". 

Kapolri Jenderal Listyo Sigit juga angkat suara. Listyo bahkan menawarkan agar Sukatani jadi duta Polri dalam pembenahan institusi. "Bagi kami kritik terhadap Polri menjadi bentuk kecintaan masyarakat terhadap institusi Polri," kata Sigit dalam keterangan tertulis, Minggu (23/2).

Itu bukan kali pertama ekspresi seni yang bernuansa kritik terhadap rezim terkesan dibungkam. Beberapa pekan sebelum polemik lagu Bayar Bayar Bayar milik Sukatani menyeruak, publik juga menyoroti pementasan teater bertajuk "Wawancara dengan Mulyono" yang batal digelar. 

Pementasan dijadwalkan digelar oleh Teater Payung Hitam di kampus Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Jawa Barat, Sabtu (15/2). Namun, menurut sutradara drama "Wawancara dengan Mulyono", Rachman Subur, pentas tidak bisa digelar karena lokasi acara tiba-tiba digembok. 

Dalam keterangan resminya, Rektor ISBI Retno Dwimarwati mengungkapkan pihak kampus tidak memberikan izin pentas bagi "Wawancara dengan Mulyono". Menurut dia, lakon teater yang disutradai Rachan Sabur itu bernuansa kepentingan politik. 

"Tidak boleh melakukan kegiatan yang secara terang-terangan menyerang pada golongan tertentu serta kegiatan yang berbasis SARA apalagi di lingkungan kampus," jelas Retno. 

Mulyono adalah nama kecil Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Menurut ISBI, Rahman Sabur telah mempublikasikan poster pementasan teater itu lewat media sosial dengan gambar Jokowi. Rachman sendiri berdalih pentas itu diselenggarakan untuk merayakan 43 tahun perjalanan kreatifnya. 

Pembatalan mendadak juga terjadi dalam pameran lukisan karya Yos Suprapto yang direncanakan bakal digelar di Galeri Nasional, beberapa bulan sebelumnya. Kisruh bermula dari perbedaan pandangan antara kurator lukisan Suwarno Wisetrotomo dan Yos. 

Ketika itu, Suwarno meminta agar lima dari 30 karya Yos diturunkan karena tidak sesuai dengan tema pameran. Namun, Yos menolak permintaan itu. Lukisan-lukisan yang dipersoalkan menunjukkan sosok Jokowi. Karena tidak ada titik temu, pameran itu pun dibatalkan. 

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Arif Maulana menilai kasus batalnya pameran Yos dan permintaan maaf Sukatani mengindikasikan upaya pembungkaman terhadap seniman kritis. 

"Sebagai negara hukum dan demokrasi, mestinya pemerintah menghormati dan melindungi ekspresi kritis. Namun, yang terjadi hak berpendapat berekspresi warga justru dibungkam dengan represi," kata Arif kepada Alinea.id, Sabtu (22/2).

Ia berpendapat represi terhadap karya seni menunjukkan watak otoriter pemerintah dan aparat keamanan. Padahal, sebagai pelayan rakyat, semestinya Polri dan institusi lainnya mau menampung kritik dari masyarakat. 

"Padahal, mereka sesungguhnya hanyalah pelayan rakyat yang digaji dari pajak rakyat. Semestinya mereka melindungi dan memuliakan rakyat bukan justru menindas rakyat dan murka jika dikritik warga," kata Arif. 

Meskipun dalam situasi mengkhawatirkan, Arif berharap kalangan seniman dan aktivis tetap kritis mengawal setiap kebijakan pemerintah. Apalagi, ruang digital kini terkesan dikuasai buzzer alias pendengung yang cenderung pro penguasa. 

"Karena di situlah kelebihan sistem demokrasi. Kuncinya adalah warga yang aktif kawal pemerintahan. Terlebih di tengah situasi kekosongan oposisi di pemerintahan hari ini," kata Arif. 

Tangkapan layar cover album Gelap Gempita karya band Sukatani. /Foto Instagram

Tak boleh dibungkam 

Pemerhati kepolisian Poengky Indarti berpendapat kritik yang diutarakan Sukatani lewat lagu Bayar Bayar Bayar tidak boleh dibungkam. Ia merujuk pada isi Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1946 yang menegaskan bahwa setiap orang bebas atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 

Di lain sisi, menurut Poengky, kritik yang diutarakan Sukatani juga tak bernuansa fitnah. Praktiknya, masih banyak oknum kepolisian yang rutin melakukan pelanggaran hukum, semisal minta dibayar, disuap, dan pungli. 

"Bapak Kapolri berkali-kali menyampaikan Polri tidak anti kritik. Siapa yang berani mengkritik keras Polri justru akan menjadi sahabat Kapolri. Oleh karena itu, jika benar ada pihak dari kepolisian yang berani melarang orang melakukan kritik, maka yang justru melanggar perintah Kapolri," kata Poengky kepada Alinea.id, Sabtu (22/2).

Poengky menilai musik merupakan medium yang efektif untuk mengemukakan kritik sosial. Musisi nasional dan musisi dunia sudah melakukan itu sejak dulu. Ia mencontohkan sejumlah tembang karya Iwan Fals yang sarat dengan kritik terhadap rezim pada era Orde Baru, semisal "Surat Buat Wakil Rakyat", "Umar Bakri", dan "Bento".

"Di luar negeri, ada John Lenon yang menyanyikan "Imagine" untuk mengkritik pemerintah Amerika Serikat di Perang Vietnam dan lain-lain. Hal tersebut merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi yang disampaikan melalui seni sehingga tidak layak untuk dilarang, diproses hukum, dan diadili," kata Poengky.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan