close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi satelit luar angkasa. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi satelit luar angkasa. /Foto Unsplash
Peristiwa
Selasa, 13 Agustus 2024 12:25

Di antariksa, Indonesia masih tak berdaya

Peleburan Lapan ke BRIN membuat pengembangan teknologi keantariksaan tersendat.
swipe

Impian memajukan sektor keantariksaan melalui pengembangan satelit buatan dalam negeri menjadi hasrat segenap ilmuwan antariksa nasional. Namun, impian itu terancam pupus usai Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2021. 

Di BRIN, para ilmuwan di bidang keantariksaan didorong fokus pada penyusunan jurnal ketimbang membuat purwarupa atau produk teknologi keantariksaan. Imbasnya, kemampuan para ilmuwan antariksa membuat purwarupa semakin tidak berkembang. 

Kecemasan itu dirasakan merata di kalangan para peneliti BRIN yang hadir dalam sebuah diskusi berkelompok terfokus (focus group discussion/FGD) di Gedung eks Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) di kawasan Rawamangun, Jakarta Pusat, Selasa (7/8) lalu.

Diberi tajuk "Status Terkini dan Penguatan Penyelenggaraan Keantariksaan Nasional", diskusi itu digelar untuk memperingati terbitnya Undang- Undang Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. Kepala Lapan periode 1999-2000 Harijono Djojodiharjo dan Kepala Lapan periode 2011-2014 Bambang S. Tejasukmana turut hadir dalam persamuhan itu. 

Para periset umumnya sepakat peleburan Lapan ke BRIN bikin mimpi "menguasai" luar angkasa kian jauh. Indonesia hingga kini tak bisa membuat satelit sendiri. Untuk meluncurkan satelit, RI harus numpang di bandar antariksa milik negara lain, semisal Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. 

"Kalau ilmuwan antariksa tidak didorong untuk mengembangkan satelit buatan sendiri, maka kemampuan kita bisa hilang, dan akhirnya kita akan lebih bergantung pada swasta," ucap salah seorang peneliti BRIN yang hadir dalam diskusi tersebut kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Para peserta FGD menyepakati sejumlah rekomendasi. Terkait lembaga keantariksaan, FGD merekomendasikan beberapa opsi. Pertama, Lapan dikembalikan ke bentuk semula. Kedau, pemerintah membentuk suatu Lembaga penyelenggaran keantariksaan yang baru. 

"Atau dilakukan instansi pemerintah lainnya yang memiliki fungsi terkait. Apakah perlu dibentuk unit khusus di BRIN terkait dengan penyelenggaran keantariksaan?" 

Selain UU No. 21/2013, sudah terbit pula Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2017 tentang Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan 2016 - 2040. Di antara lainnya, Perpres itu memandatkan pembangunan bandar antariksa pada kurun waktu 2021 hingga 2025. 

Bandar antariksa adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai landasan atau peluncuran wahana antariksa. Ketiadaan bandar antariksa membuat Indonesia tergantung pada pihak asing. Teranyar, Indonesia mengandalkan sistem satelit Starlink yang dioperasikan SpaceX milik Elon Musk. 

Padahal, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling awal meluncurkan satelit ke luar angkasa. Pada 1976, sekira 6 tahun setelah satelit Sputnik milik Rusia mengangkasa, Indonesia meluncurkan satelit bernama Palapa A1. Satelit dengan sistem komunikasi satelit domestik (SKSD) ini menjadi infrastruktur utama pendistribusian program televisi nasional.

Mantan Kepala Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lapan Gunawan Setyo Prabowo mengatakan teknologi keantariksaan, termasuk di antaranya satelit, sangat penting dikembangkan terus-menerus. Ia mengkritik BRIN yang terlalu fokus pada terbitan jurnal sebagai patokan kinerja.

"Jadi, mereduksi keantariksaan hanya menjadi kegiatan research saja seperti saat ini adalah seperti meniadakan keantariksaan. Wilayah antariksa belum ada batasnya dan belum juga sempurna bagaimana mengeksplorasi termasuk hukum yang menyertainya," ucap Gunawan kepada Alinea.id, Minggu (11/8).

Menurut Gunawan, kompleksitas dunia keantariksaan tak bisa hanya di-handle oleh satu unit di BRIN. Selain kendala anggaran, integrasi ilmu antara para peneliti juga bakal sulit dilakukan jika keantariksaan diurus organisasi riset di bawah BRIN. 

Gunawan berpendapat Lapan sebaiknya kembali dipisah dari BRIN. Sebagai dasar argumentasi, ia mencontohkan negara-negara kecil di Afrika yang punya badan luar angkasa tersendiri, semisal Maroko, Rwanda, Ethiopia dan Somalia. 

"Lembaga seperti Lapan itu sudah benar. Namanya space agency, dia ngurus segala hal terkait ekosistemnya mulai dari riset, kerekayasaan, regulasi, hukum, SDM, kerja sama dengan dunia luar, menghidupkan serta membina partisipasi dalam negeri, termasuk swasta," ucap Gunawan. 

Menurut Gunawan, Indonesia harus berjaya di luar angkasa sebagaimana harapan Sukarno di masa lalu. Apalagi, penyelenggaraan keantariksaan berdimensi ekonomi. Bandar antariksa, misalnya, bisa dijadikan bisnis jasa peluncuran satelit. 

"Pemerintah baru mendatang harus mengembalikan kelembagaan keantariksaan sebagaimana lazimnya pemerintah-pemerintah di dunia lainnya agar pembangunan keantariksaan ada yang ngurus secara komprehensif," ucap Gunawan.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan