close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pekerja isi air PAM ke dalam jeriken. Foto Antara/Aprillio Akbar
icon caption
Pekerja isi air PAM ke dalam jeriken. Foto Antara/Aprillio Akbar
Peristiwa
Minggu, 16 Maret 2025 12:11

Di balik gelombang protes kenaikan tarif air PAM di DKI

Pemprov DKI diminta melibatkan partisipasi publik dalam penentuan kenaikan tarif air PAM.
swipe

Warga rumah susun (rusun) di Jakarta yang tergabung dalam Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) terus memprotes kebijakan meningkatkan tarif air Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya). Hingga kini, setidaknya ada 29 surat keberatan dilayangkan ke Pemprov DKI Jakarta. 

Mayoritas warga meradang karena Pemprov DKI menyamakan tarif air untuk pelanggan yang tinggal di hunian bertingkat dengan pusat perbelanjaan, mal, dan gedung perkantoran. Pemerintah Provinsi Jakarta didesak menghitung ulang kenaikan tarif PAM Jaya. 

"Kami dikelompokkan dalam Kelompok K III bersama gedung-gedung komersial yang menggunakan air untuk bisnis. Padahal, kami ini rumah tangga yang memakai air untuk kebutuhan dasar seperti masak, cuci, dan mandi," ujar Ketua P3RSI Boulevard Mediterania Residences, Kian Tanto, seperti dikutip dari Kontan. 

Selain melayangkan surat protes, warga penghuni apartemen juga bergantian menyambangi balai kota untuk menggelar aksi unjuk rasa atas kenaikan tarif air PAM. Menyikapi protes penghuni hunian bertingkat, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung mengatakan akan mengkaji ulang kenaikan tarif air di DKI. 

Kenaikan tarif air ditetapkan lewat Keputusan Gubernur Jakarta Nomor 730 Tahun 2024 tentang Tarif Air Minum Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya (PAM Jaya). Dalam keputusan gubernur tersebut, PAM Jaya membagi jenis pelanggan dalam empat kelompok. 

Untuk jenis pelanggan gedung bertingkat tinggi, apartemen, dan kondominium masuk dalam kelompok III (K-III). Dalam kategori tersebut, hunian bertingkat tinggi berada dalam satu kategori dengan kelompok niaga/industri besar, seperti hotel, restoran, bank, ruko, dan gudang.

Tarif di K-III lalu dibagi lagi dalam tiga kategori penggunaan. Untuk pemakaian air 0-10 meter kubik tarif yang dikenakan Rp12.550. Adapun untuk pemakaian kisaran 11-20 meter kubik ditetapkan sebesar Rp17.500 dan pemakaian lebih dari 20 meter sebesar kubik Rp21.500.

Keputusan Pemprov DKI mendongkrak tarif air PAM merupakan buah dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum. Kenaikan tarif berlaku sejak Januari 2025. Tagihan pertama muncul pada akhir Februari 2025. 

Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Fraksi -PDIP Dwi Rio Sambodo, menilai penggolongan rumah susun swasta (KII) yang dikenakan tarif apartemen (KIII) merupakan indikasi sesuatu kebijakan tidak dirumuskan matang. Dwi menilai kebijakan pengelompokan ini tanpa koordinasi dengan Dinas Perumahan.  

"Karena untuk penggolongan tersebut, PAM Jaya pakai penggolongan yang mana? Dari 29 aduan, PPPSRS mengeluh tentang penggolongan hunian dari K II menjadi K III saat dikenakan tarif air," kata Dwi kepada Alinea.id, Jumat (14/3).

Dia menilai rencana pembentukan Satgas PAM untuk rencana penggunaan meter air di setiap hunian rumah susun swasta bisa menjadi solusi sementara untuk meredakan polemik kenaikan tarif. Satgas PAM juga bisa mendorong bertambahnya jumlah pengguna layanan PAM Jaya.

"Selain itu, bisa untuk mengurangi keluhan penghuni karena tarif akan berbeda setiap penghuni, tergantung jumlah air yang digunakan. Lalu mengantisipasi PPPSRS untuk mark-up IPL (iuran pengelolaan lingkungan)," kata Dwi.

Terkait, masalah ground water tank (GWT) yang dikelola P3SRS yang kerap menimbulkan friksi antara PAM Jaya dan P3SRS, Dwi mengusulkan agar GWT dikelola PAM Jaya. Selama ini, PAM Jaya bermitra langsung dengan P3SRS untuk mengalirkan air yang ditampung GWT yang ada di rusun. Namun, harga layanan air bersih untuk dibeli para penghuni rusun tetap ditentukan P3SRS.

"Terkait GWT yang bersumber hanya dari PAM untuk optimalisasi layanan air minum/pipanisasi. Ini penting agar PAM Jaya sebagai tangan pertama jika ada keluhan terkait air. Jadi, jika ada aduan terkait air saat GWT sumbernya campuran, tidak ada istilah mengkambinghitamkan PAM," kata Dwi. 

Partisipasi publik 

Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai konsep kebijakan pengelompokan menyatukan kategori pelanggan hunian bertingkat dan usaha bisnis tidak sepenuhnya salah. Sebab, hunian bertingkat seperti apartemen memang memang berkonsep bangunan komersil. 

Namun demikian, Trubus mengusulkan agar Pemprov DKI memetakan terlebih dahulu jenis hunian bertingkat yang bakal kena kenaikan tarif air PAM. Pasalnya, tidak semua hunian bertingkat atau apartemen itu layak dikenakan tarif K III.

"Karena masyarakatnya (penghuni rumah susun) berpenghasilan menengah. Jadi, ini harus dipetakan dulu," kata Trubus kepada Alinea.id, Jumat (14/3). 

Bangunan bertingkat untuk usaha seperti pusat perbelanjaan dan gedung kantor juga tidak bisa dipukul rata bakal dikenakan tarif KIII. Pasalnya, tidak semua mal ramai dikunjungi konsumen. Daya beli masyarakat yang menurun membuat banyak mal yang sepi.

"Dan retail di dalam mal terancam bankrut. Jadi, memang harus dipetakan dulu, mana mal yang memang layak dikelompokan tarif KIII, karena di lapangan itu banyak mal yang sepi," kata Trubus. 

Dalam kalkulasi tarif, menurut Trubus, Pemprov DKI Jakarta harus meminta masukan dari masyarakat pengguna air PAM. Ia khawatir penghuni rusun kembali beralih ke air tanah jika tarif air PAM yang ditetapkan Pemprov DKI tak bisa mereka bayar. 

"Harus bottom up dari bawah ke atas, dengan melibatkan partisipasi warga. Mampunya mereka seberapa. Jika tarif air PAM itu tidak sesuai kemampuan, maka mereka akan kembali menggunakan air tanah. Itu malah bahaya bagi lingkungan Jakarta yang terus turun permukaan tanahnya," ucap Trubus.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan