Di balik ‘surga’ penyelundupan benih lobster di Lampung
Penyelundupan benih lobster atau benur beberapa tahun terakhir kerap terjadi di Lampung. Misalnya pada Kamis (13/6) malam, aparat TNI Angkatan Laut bersama petugas Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Jakarta menggerebek sebuah rumah di kawasan elite di Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung karena dijadikan lokasi transit penyelundupan benur. Penggerebekan tersebut merupakan tindak lanjut dari terbongkarnya usaha penyelundupan 77.000 ekor benih lobster di Banten.
Kasus penyelundupan benur di Lampung bukan kali pertama ini terjadi. Pada Februari 2019 lalu, Direktorat Polisi Air dan Udara (Ditpolairud) Polda Lampung menggagalkan usaha penyelundupan benih lobster ke Vietnam. Benih lobster yang diamankan sekitar 2.000 ekor dengan nilai Rp300 juta.
Lalu, pada akhir Februari 2023 polisi menggagalkan upaya penyelundupan 6.610 benur dengan total nilai mencapai lebih dari Rp1 miliar di Pesisir Barat, Lampung. Bukan cuma tertangkap di wilayah Lampung. Sindikat penyelundupan benur dari Lampung juga kerap ditangkap di wilayah lain.
Misalnya, Polda Kepulauan Riau menggagalkan upaya pengiriman 5.500 benur yang dibawa dari Lampung ke Jambi, kemudian ke Kota Batam pada 26 Juli 2023. Kemudian, pada 28 November 2023 lalu, polisi meringkus seorang warga Lampung berinisial SN di jalan tol Palembang-Kayu Agung saat tengah menyelundupkan benih lobster senilai Rp6 miliar untuk dikirim ke Jambi.
Direktur Maritim Strategic Center Muhammad Sutisna mencermati, wilayah Lampung dijadikan tempat transit penyelundupan benih lobster seiring menjadi sentra lobster dan wilayah strategis untuk penyelundupan menuju Vietnam.
“Ketimbang Batam yang sudah menjadi sorotan aparat, Lampung lebih seksi untuk penyelundupan via laut,” ucap Sutisna kepada Alinea.id, Rabu (19/6).
Lemahnya pemantauan aparat di Lampung juga membuat sindikat penyelundup leluasa menjadikan daerah itu sebagai rute bisnis gelap benur.
Selain itu, penyelundupan benur yang marak di Lampung, menurut Sutisna, erat kaitannya dengan kebijakan pembukaan kembali keran ekspor benir lobster. Sejak Maret 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) resmi membuka kembali keran ekspor benur, usai kebijakan tersebut ditutup pada 2021. Hal itu tertuang di dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.
Pemerintah menetapkan kuota benur yang boleh dieksploitasi sebanyak 419.213.719 ekor atau 90% dari estimasi stok benih lobster di Indonesia. Sementara harga patokan terendah benih lobster di tingkat nelayan ditetapkan Rp8.500 per ekor.
Perusahaan-perusahaan ekspor lobster asing diizinkan mengirim benih bening lobster ke negara asal, selama sudah menebar benih pada lokasi budidaya di Indonesia. Celakanya, kebijakan ini memicu praktik liar penyeludupan benur.
Sutisna menyebut, praktik ilegal penyelundupan benur di Lampung sudah terjadi sejak era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tahun 2014-2019. Ia curiga, ada perusahaan besar yang bermain di Lampung. Sebab, modus penyelundupan terbilang sangat rapi.
“Bisa saja banyaknya penggerebekan benih lobster di Lampung ini menjadi alasan pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor,” ujar Sutisna.
“Bisa jadi, nanti pemerintah atau pihak lain berpendapat, daripada ilegal dan menjadi umpet-umpetan, lebih baik dilegalkan saja. Bahaya itu.”
Ia menilai, ekspor benur yang dilegalkan akan merugikan sektor perikanan nasional. Terutama nelayan lantaran dapat mengganggu keberlangsungan ekosistem lobster.
Praktik penyelundupan yang semakin masif, kata Sutisna, juga disebabkan kebutuhan lobster yang tinggi dari Vietnam. Sedangkan Vietnam tak bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Akhirnya diduga terjadi persekongkolan antara perusahaan perikanan di Vietnam dan jaringan perdagangan gelap benur di Indonesia.
"Saya meyakini yang bermain ini adalah orang-orang lama yang sudah berpengalaman dan perusahaan besar," ucap Sutisna.
Sutisna memandang, penyelundupan benur seharusnya direspons dengan penguatan sistem penegakan hukum di laut. Dengan terlebih dahulu membenahi tumpang tindih penegakan hukum untuk sektor sumber daya perikanan.
“Jangan sampai terjadi ketimpangan wewenang Bakamla (Badan Keamanan Laut) dengan TNI AL (Angkatan Laut), atau Bakamla dengan PSDKP (Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan),” tutur Sutisna.
Terpisah, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengatakan, maraknya praktik penyelundupan benur di Lampung tak bisa dilepaskan dari ketergantungan sektor perikanan di Vietnam terhadap pasokan lobster dari Indonesia.
“Seharusnya pemerintah Indonesia juga menekan pemerintah Vietnam untuk menindak pelaku penadah selundupan benih lobster dari Indonesia,” ujar Dani, Selasa (18/6).
“Karena sudah terdapat MoU (memorandum of understanding) antara pemerintah Indonesia dan Vietnam terkait hal ini.
Lebih lanjut, ia menuturkan, jika tidak intensif dilakukan pengawasan, maka kebijakan untuk kembali melegalisasi ekspor benur jadi sia-sia. “Karena aspek pencegahan kerugian negara tidak optimal dilakukan.”
Menurut Dani, selama ini “pelabuhan tikus” di Lampung menjadi “jembatan” penyelundupan benur ke Vietnam. Hal ini terjadi lantaran aparat tidak tanggap dan lemah mengawasi praktik penyelundupan benur, sehingga terus dimanfaatkan pelaku.
“Kalau penindakan hukum tidak keras dan ketat, saya khawatir ini akan terus digunakan para pelaku,” kata Dani.
“Karena biaya penyelundupan pasti lebih murah daripada mengurus perizinan atau perhatian mengenai hal ini untuk menghindari adanya pelaku ekspor yang main dua kaki. Ada sebagian yang diurus izinnya, namun juga tetap menjalankan praktik ilegal.”