Banjir yang melanda sejumlah area di DKI Jakarta dan kawasan penyangga mulai surut. Khusus di ibu kota, Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta Mohamad Yohan mengatakan banjir di DKI sudah surut sejak Kamis (6/3) lalu.
"Seluruh daerah sudah tidak lagi tergenang. Untuk lokasi pengungsian memang masih dihuni warga karena saat ini sedang proses bersih-bersih," kata Yohan seperti dikutip dari Antara.
Jakarta dikepung banjir sejak, Senin (3/3). Pada puncaknya, setidaknya ada 105 rukun tetangga (RT) yang terendam air. Di sejumlah area di Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur, ketinggian air bahkan sempat mencapai 5 meter.
Selain di DKI, banjir besar juga melanda sejumlah kawasan di Bekasi dan Bogor, Jawa Barat. Curah hujan yang tinggi dan meluapnya air di Sungai Ciliwung jadi pemicu utama banjir kali ini. Namun, alih fungsi lahan di area hulu sungai dituding jadi biang kerok banjir berulang.
Analis kebijakan publik dari Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang Miftahul Adib menilai akar berulangnya banjir di Jabodetabek masih seputar persoalan saluran air dan tata ruang. Kedua persoalan itu tak juga selesai lantaran Jakarta dan kota penyangga sering tidak selaras dalam menentukan skala prioritas mitigasi banjir.
"Bukan tidak ada upaya, tetapi tidak maksimal. Indikator keberhasilannya masih jauh dari pada memuaskan. Prioritas Jakarta dan kota-kota lainnya itu soal banjir, soal macet, soal lapangan pekerjaan, soal tata ruang, soal bagaimana gap antara si miskin dengan si kaya. Maka dari itu, sebenarnya perlu penanganan secara kolektif kolegial. DKI Jakarta tidak bisa berdiri sendiri," kata Miftahul kepada Alinea.id, Kamis (6/3).
Miftahul menilai tidak terbangun sinergi yang baik antara daerah-daerah di Jabodetabek dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang jadi perhatian utama publik. Pemprov DKI, misalnya, tak bisa serta-merta menyalahkan Pemda Bogor saat dilanda banjir kiriman dari kawasan puncak.
"Jadi, bagaimana mengakselerasi dan mengeksekusi kebijakan. Contoh seperti (Wakil Gubernur DKI) Rano Karno. Terlihat sepele, tapi menurut saya, benar. Keruk sungai. Tetapi, itu baru- baru saja. Padahal, hal- hal seperti ini tidak usah wakil gubernur dan gubernur yang memberikan perintah. Cukup dinas itu," kata Miftahul.
Miftahul menilai akselerasi penanganan banjir bisa dilakukan tetap dijalankan tengah pemangkasan anggaran pemerintah pusat. Pemerintah daerah bisa fokus mengalokasikan anggaran untuk program-program yang berkaitan langsung dengan publik, semisal penanganan banjir di Jabodetabek.
.
"Sebab selama ini, program-program itu kurang optimal karena anggaran tersedot ke hal-hal kurang penting, seperti untuk sosialisasi, perjalanan dinas, dan segala macam. Untuk banjir, anggarannya kurang. Persoalan krusial ini bukan hanya di DKI dan Bekasi, Tangerang Raya juga sama," jelas dia.
Pengamat perkotaan Yayat Supriatna berpendapat banjir kerap berulang dan bahkan meluas dari tahun ke tahun karena buruknya tata kelola air dan menyusutnya kawasan resapan air. Kawasan hijau seperti kebun dan hutan yang dulu berfungsi sebagai penyerap air kini banyak berubah menjadi permukiman.
"Run-off semakin tinggi, genangan pun semakin luas. Otomatis banjir merata ke mana-mana. Ini menunjukkan bahwa hampir semua kota kita memiliki drainase yang buruk," ujar Yayat.
Urbanisasi yang pesat di kawasan Jabodetabek menyebabkan hilangnya lahan resapan. Daerah aliran sungai (DAS) berubah menjadi permukiman dan infrastruktur beton. Saat hujan, saluran air pun kerap tersumbat sampah dan sedimentasi sehingga air tidak dapat mengalir dengan lancar menuju laut.
Yayat juga menyoroti fenomena pembangunan permukiman yang semakin dekat ke tepi sungai, seperti yang terjadi di Bekasi. Di sejumlah area, menurut dia, permukiman warga kini memenuhi kiri dan kanan sungai.
"Masalahnya, mereka hanya membangun tembok pemisah, bukan tanggul yang kuat untuk menahan air. Akibatnya, kapasitas sungai tidak bertambah, sementara debit air terus meningkat karena tak ada pengerukan atau perluasan mulut sungai," kata dia.