Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan kesiapannya untuk memanggil sejumlah pihak terkait kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh dokter residen anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Langkah ini diambil sebagai wujud kepedulian serius terhadap perlindungan pasien dan integritas dunia kedokteran di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, menegaskan akan memanggil Kementerian Kesehatan, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), pihak RSHS Bandung, Konsil Kedokteran Indonesia, hingga Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Tujuan pemanggilan ini adalah untuk meminta klarifikasi, mengevaluasi sistem pembinaan tenaga medis, dan memperkuat pengawasan guna mencegah kejadian serupa di masa depan.
“Langkah ini diambil untuk meminta klarifikasi, mengevaluasi sistem pembinaan dan pengawasan tenaga medis, serta memastikan kasus serupa tidak terulang di masa mendatang,” ujar Nihayatul dalam keterangannya kepada wartawan pada Jumat (11/4).
Ia menambahkan Komisi IX mengecam keras tindakan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Unpad. Menurutnya, kejadian ini menjadi cermin kegagalan sistemik dalam pengawasan dan perlindungan pasien di lingkungan rumah sakit.
Komisi IX DPR juga menyerukan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pendidikan dan praktik kedokteran. “Kami meminta Kementerian Kesehatan dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk melakukan evaluasi dan tindakan disipliner terhadap tenaga medis yang terlibat,” tegasnya.
Universitas Padjadjaran dan RSHS Bandung juga diharapkan dapat memperkuat sistem pelaporan, pengawasan, serta perlindungan terhadap korban, khususnya dalam lingkungan pendidikan dokter spesialis. Pendekatan yang manusiawi dan berperspektif korban dianggap penting untuk menciptakan lingkungan yang aman, profesional, dan bermartabat.
Tak hanya itu, Komisi IX juga mendorong Kementerian Kesehatan untuk memberikan pendampingan psikologis, hukum, dan medis kepada korban. Hal ini dinilai sebagai langkah pemulihan hak-hak korban yang sejalan dengan amanat Pasal 55 dan 64 Undang-Undang Kesehatan.
Dengan langkah konkret dan tegas ini, DPR menunjukkan komitmennya dalam memperkuat sistem kesehatan nasional dan menjamin rumah sakit menjadi tempat yang aman, tidak hanya untuk pasien, tetapi juga bagi seluruh tenaga kesehatan yang menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan.