Upaya reformasi hukum di Indonesia semakin nyata, terlihat dari langkah Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tengah mempercepat penyelesaian draf Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan ditargetkan rampung pada April 2025. Revisi ini diharapkan menjadi tonggak baru dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih transparan, adil, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.
“Saran saya, ini bulan Maret, April, Mei, Juni. April harusnya selesai draf dari DPR,” ujar Anggota Komisi III DPR, Hinca Panjaitan, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/3).
Komisi III DPR menunjukkan komitmennya dalam menyusun KUHAP yang benar-benar merefleksikan kebutuhan masyarakat. Untuk itu, DPR membuka ruang selebar-lebarnya bagi berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, advokat, dan masyarakat sipil, guna memberikan masukan terhadap revisi aturan fundamental dalam hukum acara pidana ini.
“Setelah itu, ini draf kita lepas ke partisipasi publik, dan partisipasi publik dari para advokat adalah membuat norma-norma itu secara detail kepada kita,” kata Hinca.
Pendekatan ini menegaskan revisi KUHAP bukan sekadar inisiatif legislatif, melainkan upaya bersama untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih humanis dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu aspek krusial yang dibahas dalam RDPU adalah mengenai kebijakan penahanan tersangka sebelum putusan pengadilan. Praktisi hukum yang juga advokat senior Maqdir Ismail mengusulkan agar penahanan hanya dilakukan setelah ada putusan pengadilan, kecuali dalam situasi tertentu.
“Saya mengusulkan dan saya lebih cenderung penahanan itu boleh dilakukan sesudah ada putusan, kecuali ada pengecualian, misalnya terhadap orang-orang yang tidak jelas alamatnya dan tidak jelas pekerjaannya,” ujarnya dalam kesempatan serupa.
Maqdir juga menyoroti permasalahan kelebihan kapasitas rumah tahanan (rutan) di Indonesia, yang kerap disamakan dengan “sarden dalam kaleng” karena kondisi yang penuh sesak. Jika revisi KUHAP dapat mengadopsi prinsip-prinsip keadilan yang lebih progresif, maka kebijakan penahanan bisa lebih selektif, sehingga mengurangi angka tahanan yang belum tentu terbukti bersalah.
“Ini menurut hemat saya merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi kalau ini dibiarkan,” tambahnya.
Revisi KUHAP ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis hukum acara, tetapi juga mencerminkan komitmen Indonesia dalam menyesuaikan sistem peradilannya dengan standar internasional. Jika disahkan, revisi ini akan menjadi tonggak sejarah dalam reformasi hukum pidana, memberikan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat, serta memastikan keadilan ditegakkan tanpa mengorbankan hak-hak individu.
Dengan target penyelesaian pada April 2025, revisi KUHAP ini segera memasuki tahap pembahasan lebih lanjut bersama pemerintah dan partisipasi publik yang lebih luas. Ini adalah momentum emas bagi Indonesia untuk membangun sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan mampu menjawab tantangan zaman.
Langkah maju ini membawa harapan besar bagi peradilan Indonesia, yakni sistem yang tidak hanya menghukum, tetapi juga melindungi, memulihkan, dan memberikan keadilan bagi semua.