close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aliansi Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (GERAM TANAH) menggelar aksi peringatan aksi Hari Tani Nasional 2024 di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (24/9/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @tanahuntukrakyat/Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
icon caption
Aliansi Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (GERAM TANAH) menggelar aksi peringatan aksi Hari Tani Nasional 2024 di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (24/9/2024)./Foto tangkapan layar Instagram @tanahuntukrakyat/Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Peristiwa - Lingkungan
Jumat, 04 Oktober 2024 16:06

DPR yang seolah tutup mata terhadap sengkarut agraria

DPR periode 2019-2024 dinilai gagal menjadi pengawas pemerintah terhadap keadilan agraria.
swipe

Sebanyak 580 anggota DPR periode 2024-2029 dilantik pada Selasa (1/10) di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta. Hal itu menandakan berakhirnya kinerja DPR periode 2019-2024.

Namun, kinerja DPR sebelumnya dinilai cenderung hanya sekadar “tukang stempel” penguasa, yang memperburuk masalah reforma agraria. Saat peringatan Hari Tani Nasional (HTN), Selasa (24/9), aliansi Gerakan Rakyat Lawan Perampasan Tanah (Geram Tanah) menyampaikan 18 bentuk kejahatan terhadap reforma agraria di Indonesia.

Pertama, pemerintah dinilai membohongi publik dengan klaim menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektare. Namun, kenyataannya hanya berupa sertifikasi tanah, tanpa redistribusi nyata.

Kedua, pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dinilai melanggar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan melawan Putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang pemberian hak guna usaha (HGU) selama 90 tahun dan hak guna bangunan (HGB) selama 80 tahun.

Ketiga, perampasan tanah menggunakan label proyek strategis nasional untuk membangun berbagai infrastruktur, energi, dan pangan yang berdampak pada perampasan tanah rakyat. Keempat, membiarkan kejahatan penelantaran tanah yang dilakukan perusahaan.

Kelima, pemerintahan Joko Widodo dinilai tidak melakukan upaya untuk mengoreksi monopoli tanah oleh swasta sesuai amanat UUD dan UUPA. Keenam, pemerintahan Joko Widodo bersama  partai politik di DPR dianggap sudah mengesahkan UU Cipta Kerja yang anti-petani.

Ketujuh, memangkas berbagai subsidi yang menjadi hak bagi petani dan nelayan. Kedelapan, pemerintahan Joko Widodo dinilai membiarkan praktik korupsi agraria-sumber daya alam dan mafia tanah.

Kesembilan, melakukan cara-cara represif dan intimidatif di wilayah konflik agraria, lewat pengerahan aparat dan memecah belah rakyat. Kesepuluh, Presiden Joko Widodo dianggap anti-petani kecil, sehingga gagal menyejahterakan petani dan gagal mewujudkan kedaulatan pangan.

Kesebelas, dinilai membiarkan praktik korupsi dan monopoli pangan oleh mafia pangan, akibat kebutuhan pangan nasional masih menggantungkan dirinya pada hasil impor. Keduabelas, pemerintah dianggap menghidupkan kembali aturan-aturan tanah dan praktik pertanahan era kolonial yang telah dihapus UUPA, misalnya menghidupkan kembali praktik tanah partikelir lewat hak pengelolaan dan “sistem tanam paksa” melalui kebijakan food estate.

Ketigabelas, pemerintah dinilai mengingkari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 lewat pengesahan UU Cipta Kerja. Keempatbelas, pemerintah dianggap tidak pernah memulihkan lingkungan dari dampak buruk bisnis pemodal.

Kelimabelas, pemerintah dianggap melanggar UUPA dengan tetap mempraktikkan asas domein verklaring seolah negara menjadi pemilik tanah, sehingga petani dan masyarakat adat dinilai tinggal menumpang di atas tanahnya sendiri.

Keenambelas, pemerintah dituding menjaukan nelayan dari cita-cita keadilan bahari. Ketujuhbelas, perintah dianggap mengabaikan hak perempuan atas tanah dan kesehatan mereka dengan tak memasukkan keadilan gender dalam kebijakan reforma agraria sebagaimana mandat UUPA. Kedelapanbelas, pemerintah dinilai sudah melanggar konstitusi tentang penghidupan dan pekerjaan yang layak.

Kinerja yang mengecewakan

Celakanya, seluruh pelanggaran tadi seakan-akan dibiarkan oleh DPR, yang semestinya menjadi pengawas. Menurut Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, kinerja DPR periode 2019-2024 terkait reforma agraria memang mengecewakan.

“Karena tidak memiliki niat mempercepat pelaksanaan reforma agraria dengan agenda pokoknya berupa redistribusi tanah, penyelesaian konflik dengan tujuan pemulihan hak korban, dan pemberdayaan ekonomi lokasi reforma agraria,” ucap Iwan kepada Alinea.id, Kamis (3/10).

Selain itu, Iwan menilai, mayoritas anggota DPR menjadikan reforma agraria tidak kokoh. Maka wajar jika DPR justru menutup mata dengan penindasan rakyat yang terjadi akibat konflik agraria.

Iwan menduga, DPR periode 2024-2029 tak jauh berbeda dengan DPR periode sebelumnya dalam menyikapi sengkarut agraria. Sebab, presiden terpilih Prabowo Subianto sangat mungkin melakukan hal serupa era Jokowi.

“Format eksekutif dan DPR sekarang dominan satu kubu, berarti tidak ada oposisi kritis,” ujar Iwan.

“Motor utama kalau hendak ‘menebus dosa’ hanya dapat terjadi jika presiden memiliki kehendak kuat menjalankan reforma agraria, penyelesaian konflik, redistribusi tanah, serta membuat PSN (proyek strategis nasional) dikembalikan benar-benar hanya untuk kepentingan umum.”

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Iskandar Dzulkarnain menilai, DPR periode 2019-2024 gagal total dalam melaksanakan beberapa ide reforma agraria, yang sebenarnya telah dijadikan janji kampanye pendukung Jokowi.

“Yang terjadi, DPR malah mendukung pemerintah, memberi karpet merah bagi para investor untuk merampas lahan-lahan produktif maupun lahan lindung, baik wilayah pesisir, agraris, maupun hutan,” kata Iskandar, Kamis (3/10).

Iskandar mencontohkan kegagalan program food estate, dengan melakukan alih fungsi lahan hutan yang masif. Padahal, pengerjaan food estate di berbagai tempat menimbulkan konflik agraria.

“Termasuk gagalnya pemerintah untuk menjaga eksistensi komunitas masyarakat adat,” tutur Iskandar.

Iskandar pun pesimis anggota DPR yang baru saja dilantik bisa mengawasi kerja pemerintah agar tak menghilangkan hak-hak masyarakat dalam persoalan agraria. Soalnya, DPR yang baru banyak dihuni artis dan keluarga.

“Ada banyak PR bagi DPR untuk melaksanakan atau membuat aturan mengenai reforma agraria yang berpihak ke masyarakat pesisir, petani, dan masyarakat adat,” kata dia.

Ia mengatakan, jika DPR ingin melindungi masyarakat dari konflik agraria, maka harus dibuktikan terlebih dahulu dengan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Di sisi lain, Iskandar juga mengingatkan masyarakat sipil untuk mendesak DPR menahan laju pencaplokan lahan, yang disponsori negara dengan dalih kepentingan PSN. Alasannya, dampaknya sudah sangat membuat rakyat sengsara.

“Jangan ada lagi alih fungsi lahan atau hutan dengan dalih program prioritas nasional,” ujar Iskandar.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan