Para pengemudi ojek online berkali-kali turun ke jalan menyuarakan aspirasinya. Salah satu tuntutannya adalah menuntut aplikator untuk memberikan Tunjangan Hari Raya, yang selama ini belum pernah mereka rasakan.
Akademisi Prodi Teknik Sipil ITB Sony Sulaksono Wibowo mengatakan jika mitra aplikator (driver) ingin diperlakukan seperti pegawai, punya upah minimum, THR dan jaminan lainnya, maka para aplikator itu harus jadi perusahaan transportasi, bukan lagi perusahaan yang berbasis e-commerce.
"Namun, dari dulu mereka tidak mau. Dari awal, yang namanya Gojek dan Grab sudah menyatakan sebagai perusahaan e-commerce, yang karakteristik utamanya adalah dikelola secara virtual dengan minum pegawai tapi jaringannya luas. Ini yang nanti akan menjadi bisnis besar yang didukung dengan teknologi komunikasi dan informasi yang sudah sangat canggih," kata Sony di Jakarta, Jumat (7/3).
Di e-commerce, kita bisa jadi pedagang besar tanpa harus punya toko dan barang yang dijual. Kita bisa jadi perusahaan layanan pengantar orang dan barang tanpa harus punya banyak driver dan kendaraan.
Sony menambahkan, bisnis e-commerce di Indonesia belum ada aturan yang jelas. Saat ini yang mengatur hanya Kementerian Komunikasi dan Digital, tetapi itu ternyata hanya masalah penggunaan.
"Tidak ada aturan yang mengakitkan dengan hubungan mitra dan perusahaan, kewajian pajak dalam setiap transaksi e-commerce, dan sebagainya," kata dia.
"Contoh kasus e-commerce yang ramai waktu itu adalah keluhan banyak pedagang yang merasa tergilas oleh TikTok Shop, sehingga pemerintah kemudian menyuruh menutup aplikasi itu. Apakah setelah itu jualan para pedagang naik dan bisnis penjualan secara online mati?"
"Tidak. Jualan pedagang di pasar tetap sepi tapi bisnis penjualan online tetap berkembang melalui WA, FB dan IG," papar Sony.
"Bahkan sekarang sudah banyak pedagang yang menjual barangnya di pasar dan juga di online."