close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Waketum Gerindra Habiburokhman bertemu keluarga orang hilang dan aktivis 98 di Hotel Fairmont, Jakarta, Minggu (4/8). /Foto Ist.
icon caption
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Waketum Gerindra Habiburokhman bertemu keluarga orang hilang dan aktivis 98 di Hotel Fairmont, Jakarta, Minggu (4/8). /Foto Ist.
Peristiwa
Sabtu, 10 Agustus 2024 11:59

Dua sisi kontroversi pertemuan keluarga aktivis 98 dan "tim" Prabowo

Ikohi menyebut keluarga korban penghilangan paksa 9-98 diperdaya untuk bertemu petinggi Gerindra.
swipe

Persamuhan keluarga aktivis korban penculikan 1998 dengan dua petinggi Partai Gerindra--Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman--memicu serangkaian kontroversi. Pertemuan yang berlangsung di Hotel Fairmont, Jakarta, Minggu (4/8) lalu, itu diklaim penuh dengan kebohongan dan tipu daya. 

Sekretaris Umum Ikatan Orang Hilang Indonesia (Ikohi) Zaenal Muttaqin mengatakan pertemuan itu diinisiasi Staf Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Mugiyanto. Sebelumnya, Mugiyanto adalah Ketua Ikohi periode 2000-2014. 

Mugiyanto, kata Zaenal, bekerja sama dengan Aan Rusdianto, salah satu korban penculikan pada 1998. Keduanya "memboyong" 14 anggota keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu tanpa bercerita bahwa mereka bakal dipertemukan dengan Dasco dan Habiburokhman. 

"Tidak tahu bahwa itu bukan agenda Ikohi. Ketika datang ke rumah transit, kemudian dibawa ke Hotel Fairmont, mereka juga masih bertanya-tanya, 'Ini mana pengurus Ikohi yang lain?'" ungkap Zaenal dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (7/8). 

Zaenal mengklaim keluarga korban yang bertemu dengan Dasco dan Habiburokhman merasa kecewa karena diperdaya. Sebagian mengalami depresi. Ia mencontohkan keponakannya, Fitri Nganthi Wani. "Karena menerima kenyataan bahwa sebenarnya enggak ada Ikohi," ujar dia. 

Paiyan Siahaan, ayah dari aktivis 98 Ucok Siahaan, ikut hadir dalam pertemuan itu. Paiyan membantah ia dan keluarga korban lainnya diperdaya. Menurut dia, mereka memang sengaja berangkat ke Jakarta supaya bisa bertemu dengan Prabowo Subianto. 

"Kami sebelumnya ingin ketemu dengan presiden terpilih Prabowo Subianto. Tetapi, saat pertemuan, katanya, Prabowo masih di luar negeri," kata Paiyan kepada Alinea.id, Rabu (7/8).

Menurut Paiyan, ia dan rekan-rekannya ingin menanyakan progres penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara nonyudisial yang sudah atur melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 terkait Pembentukan Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Non-Yudisial.

Paiyan mengklaim ia dan rekan-rekannya sudah setuju kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu diselesaikan secara nonyudisial. Ia menagih janji pemerintah dalam memenuhi kebutuhan akan akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perumahan bagi keluarga korban sebagaimana tersurat dalam Keppres dan Inpres. 

"Tidak ada pembicaraan tentang itu karena pertemuan itu sudah diwakilkan ke Pak Dasco. Kami menunggu kapan realisasi untuk meneruskan Keppres dan Inpres (Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia) itu," ucap Paiyan.

Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andi Muhammad Rezaldi menduga pertemuan Paiyan dengan petinggi Gerindra merupakan merupakan siasat sistematis untuk mengesampingkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu lewat jalur yudisial. 

"Atau dengan kata lain pertemuan tersebut hanya merupakan ajang cuci tangan untuk menghapuskan dosa terkait keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998," ucap Andi kepada Alinea.id, Kamis (8/8).

Prabowo diduga terlibat kasus penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis prodemokrasi pada 1997-1998. Hingga kini, tercatat ada 13 aktivis prodemokrasi yang masih dinyatakan hilang pada periode itu. 

Laporan penyelidikan Komnas HAM dan surat keputusan dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP tertanggal 21 Agustus 1998 menyatakan bahwa Prabowo terlibat dan patut dimintai pertanggung jawaban atas kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. 

Menurut Andi, penyelesaian jalur nonyudisial menyalahi standar internasional penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ia berpendapat rekonsiliasi keluarga korban dan terduga pelaku hanya bisa tercapai jika dimulai dari pengungkapan kebenaran dan permintaan maaf yang tulus dari negara. 

"Pemenuhan hak reparasi harus dilakukan dengan menghormati martabat korban dan keluarganya. Proses hukum yang transparan dan adil harus ditegakkan untuk mengadili aktor yang bertanggung jawab. Penegakan hukum ini tidak hanya untuk memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga mencegah terjadinya peristiwa serupa di masa mendatang," ucap Andi.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan