Karangan bunga bernada satire menyindir pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang ditempatkan di Taman Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Surabaya pada Selasa (22/10) viral di media sosial. Tak lama, mengundang reaksi pihak kampus.
Pada Kamis (24/10), Ketua Komisi Etik FISIP Unair memanggil pihak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Unair untuk meminta klarifikasi. Lantas, pada Jumat (25/10) pagi, Presiden BEM FISIP Unair Tuffahati Ullayyah bersama beberapa koleganya memenuhi panggilan Komisi Etik FISIP Unair.
Sore harinya, mereka menerima surat elektronik dari Dekanat FISIP Unair yang menyatakan BEM FISIP Unair dibekukan. Pembekuan itu tak berlangsung lama. Pada Senin (28/10), Dekanat FISIP Unair resmi mencabut surat pembekuan pengurus BEM FISIP Unair itu.
Menurut Dekan FISIP Unair Bagong Suyanto, langkah pembekuan itu dilakukan karena penggunaan diksi oleh BEM FISIP yang dianggap tidak sesuai dengan kultur akademik. Mereka diingatkan untuk tetap menjaga marwah akademik dan mendorong mahasiswa untuk menghindari bahasa yang kasar dalam kegiatan politik.
Bagong menyampaikan, pembekuan dilakukan terlebih dahulu karena pihak civitas fakultas belum sempat bertemu dengan para mahasiswanya. Sebab, mereka tengah libur.
“Mungkin kalau tidak hari libur, bisa langsung bertemu dan tidak pakai surat pembekuan,” kata Bagong kepada Alinea.id, Senin (28/10).
“Kami itu lebih pada posisi sebagai orang tua untuk mengingatkan agar tidak keluar dari koridor akademik. Itu saja target dari fakultas.”
Sementara itu, Wakil Dekan 1 FISIP Unair Jusuf Irianto menegaskan, dekanat tidak membekukan BEM FISIP Unair. Melainkan hanya membekukan tiga orang pengurusnya, yakni ketua, wakil ketua, dan kementerian politik BEM FISIP.
“Jadi keliru kalau dekanat membekukan BEM. Silakan pengurus lain menuntaskan semua programnya hingga akhir tahun 2024 ini,” ujar Jusuf, Senin (28/10).
Lebih lanjut, dia mengatakan, langkah pembekuan tiga pengurus BEM FISIP Unair itu karena pilihan diksi yang digunakan di karangan bunga tidak sesuai dengan etika dan norma akademik. Setelah melakukan audiensi pada Senin (28/10) pagi, dia menjelaskan, surat pembekuan sudah dicabut oleh dekanat. Tiga orang pengurus BEM FISIP Unair pun sudah berjanji menggunakan diksi yang lebih baik dalam mengekspresikan diri.
“Fakultas tidak anti-terhadap kritik. Silakan civitas academica mengkritik ketidakbenaran, namun diekspresikan dengan sikap, perilaku, dan ucapan yang sesuai etika dan tidak merendahkan nilai-nilai kemanusiaan,” ucap Guru Besar bidang Manajemen Sumber Daya Manusia Unair tersebut.
Terpisah, pengamat politik dan pakar komunikasi Emrus Sihombing menuturkan, kritik memang bisa disampaikan dalam bentuk satire yang kreatif. Namun, kritik juga harus memuat pesan komunikasi yang mengindahkan etika komunikasi.
“Karena kritik itu menyampaikan dalam etika yang dimiliki manusia. Etika sendiri tidak ada dalam perilaku makhluk hidup lainnya,” tutur Emrus, Senin (28/10).
Dia menjelaskan, kritik karangan bunga satire di Unair itu juga tidak elok. Alasannya, menulis jabatan atau gelar seperti jenderal dan profesor. Padahal, gelar itu adalah posisi tertinggi dalam bidangnya, yang sulit untuk dicapai.
“Seharusnya tidak disebut profesor, sementara pencapaian profesor itu tidak mudah. Jadi ada degradasi,” ujar Emrus.
“Seharusnya kritik adalah pandangannya, misalnya ke Gibran atau Prabowo ya kritik programnya atau pandangannya.”
Merendahkan pencapaian seseorang, kata Emrus, adalah penghinaan. Bukan hanya kepada orang tersebut, tetapi siapa pun yang memiliki jabatan itu. Di sisi lain, Emrus menekankan, civitas academica juga tidak boleh asal langsung membekukan kepengurusan BEM FISIP Unair tersebut.
“Ajak berdialog karena mereka mahasiswa yang masih dalam proses belajar. Khususnya belajar etika,” kata Emrus.