close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
FGD bertema Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Sumatera Utara, Medan, Jumat (1/11/2024).
icon caption
FGD bertema Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Sumatera Utara, Medan, Jumat (1/11/2024).
Peristiwa
Sabtu, 02 November 2024 20:52

Etika harus jadi pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

Tanpa integritas, pemerintah akan terus memperluas kekuasaannya hingga menciptakan ketergantungan dan dominasi yang kuat.
swipe

Dalam pemikirannya, filsuf asal Yunani, Aristoteles menekankan etika sebagai esensi politik. Etika seharusnya menjadi pondasi dalam kehidupan politik, dan melalui etika, masyarakat diharapkan mencapai kondisi eudaimonia, sebuah konsep kebahagiaan masyarakat yang adil dan makmur. 

Konsep yang senada, menurut Ahli Studi Agama Indonesian Consortium for Religious Studies Universitas Gadjah Mada Dicky Sofjan, juga diikuti cendikiawan muslin Abu Nashr Al-Farabi, yang menekankan harkat dan martabat manusia sebagai prinsip dasar dalam kepemimpinan dan pemerintahan.

Hal itu diutarakan Dicky dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertema Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Sumatera Utara, Medan, Jumat (1/11).

“Korupsi hanyalah satu manifestasi dari kegagalan kita dalam menjunjung tinggi etika. Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu negara paling agamis, justru memiliki tingkat korupsi yang mengkhawatirkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman agama tidak selalu berbanding lurus dengan praktik etis dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Dicky.

Ia mengidentifikasi tiga masalah utama yang memicu krisis etika di Indonesia. Pertama, "ethical deficit" atau defisit etika, yang mencerminkan kurangnya pemahaman mendalam terhadap nilai-nilai moral dan agama dalam kehidupan publik. 

Kedua, "hyper rationalism" atau rasionalisme berlebihan yang menyebabkan orang membenarkan tindakan tercela sebagai kejahatan yang dianggap perlu. 

“Orang-orang yang menghalalkan segala cara menganggap korupsi sebagai ‘necessary evil’,” ungkapnya.

Masalah ketiga, menurut Dicky, adalah "elite intransigence", atau kebebalan elite dalam mendengarkan kritik. 

“Ketidakpedulian para pejabat publik terhadap kritik adalah prasyarat terjadinya revolusi. Hal ini yang terjadi pada Revolusi Prancis dan Revolusi Iran, di mana ketidaksensitifan elite terhadap suara rakyat memicu perubahan yang besar,” tambahnya.

Tidak hanya pejabat, ruang lingkup etika menurut Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, juga menyentuh keluarga para pemimpin. 

Menurutnya, godaan untuk terus memegang kekuasaan tidak hanya mengakar pada pejabat yang bersangkutan tetapi juga menjalar ke anggota keluarganya

Feri juga mengutip James Madison yang mengingatkan bahwa tanpa integritas, pemerintah akan terus memperluas kekuasaannya hingga menciptakan ketergantungan dan dominasi yang kuat. 

“Madison bilang kalau semua manusia adalah malaikat, tidak dibutuhkan pemerintah, karena orang sudah punya nilai etik yang mengawal mereka. Namun, kenyataannya, pemerintah tidak diisi malaikat, sehingga butuh pengawasan ketat dan regulasi yang menjaga ketertiban,” tambahnya.

Pembina Yayasan Teras Kebhinekaan dan Ume Daya Nusantar Iwan Mistohizzaman, mengungkapkan, kondisi ketiadaan etika dalam kebijakan publik di Indonesia. 

Salah satu contoh nyata yang ia sampaikan adalah ketimpangan yang terjadi antara gaya hidup mewah sejumlah pejabat dengan keadaan ekonomi mayoritas rakyat. 

“UMR di Medan hanya Rp3,7 juta, yang berarti sekitar Rp100.000 per hari. Sangat ironi ketika kita melihat ada orang pamer naik pesawat jet pribadi atau makan roti seharga Rp400.000, yang sama dengan 9 hari pendapatan UMR di Medan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Iwan mengkritik praktik diskriminasi yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, hukum yang seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan justru sering kali diterapkan secara tebang pilih. 

“Penegakan hukum yang diskriminatif ini menjadi masalah besar. Praktek tebang pilih tidak hanya merusak integritas institusi hukum tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ungkapnya.

Sebagai rekomendasi, Iwan menekankan pentingnya pendidikan etika sejak usia dini hingga perguruan tinggi. 

Menurutnya, BPIP dapat memainkan peran penting dalam melakukan reformulasi tes wawasan kebangsaan agar lebih memperkuat ideologi Pancasila dan nilai-nilai etis di kalangan pejabat publik. 

“Penguatan pendidikan budi pekerti perlu dilakukan sejak dini. Jangan hanya mengajarkan anak-anak membaca dan menulis, tetapi tanamkan nilai-nilai moral yang membuat mereka menjadi warga negara yang baik di masa depan,” jelasnya.

Selain pendidikan, Iwan juga mengusulkan pembentukan lembaga auditor independen untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pemerintahan tanpa intervensi eksekutif.  Menurutnya, keberadaan lembaga pengawas independen ini sangat penting untuk menjaga integritas dan transparansi dalam birokrasi. 

“Selama pengawasan masih dilakukan dalam satu lembaga yang sama, maka akan terjadi ‘jeruk makan jeruk’. Diperlukan lembaga auditor yang benar-benar independen dan terpisah dari lembaga yang diaudit,” paparnya.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan