Ratusan warga berpendidikan tinggi turut jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ke Kamboja dan Myanmar. Menurut catatan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), dari 556 korban TPPO yang telah berhasil dipulangkan dalam setahun terakhir, mayoritas ialah WNI yang terdidik.
Menteri P2MI Abdul Kadir Karding mengatakan korban umumnya terbuai tawaran kerja yang datang via media sosial. Mereka masuk ke Myanmar dan Kamboja secara ilegal karena kedua negara itu tidak terdaftar sebagai negara penempatan pekerja migran Indonesia.
“Mereka berangkat pakai visa turis dan tidak langsung ke Kamboja. Biasanya ke Thailand dulu,” ujar Karding kepada wartawan di Gedung Kementerian P2MI di Jakarta Selatan, Jumat (11/4) lalu.
Menurut catatan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), WNI di Kamboja saat ini berjumlah 19.365 orang. Angka itu naik drastis jika dibandingkan dengan data Kemenlu pada 2020. Ketika itu, jumlah WNI yang tinggal di Kamboja hanya 2.330 orang.
Maret lalu, Kemenlu melaporkan 525 WNI jadi korban TPPO di Myanmar. Angka itu diperoleh dari keterangan otoritas setempat serta WNI yang melaporkan keberadaan mereka di sana.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno membenarkan korban TPPO di Myanmar dan Kamboja didominasi masyarakat berpendidikan tinggi. Tren ini mulai tampak sejak 2024, terutama setelah kasus-kasus penipuan daring meningkat.
Hariyanto merinci sejumlah faktor yang menjadi penyebab kalangan berpendidikan tinggi jadi korban TPPO ke kedua negara itu. Pertama, minimnya akses terhadap pekerjaan di dalam negeri. Kedua, lemahnya pengawasan di tingkat daerah terhadap kejahatan TPPO.
Lemahnya pengawasan itu, kata Hariyanto, terlihat dari berulangnya kasus-kasus TPPO di sejumlah daerah, semisal di Medan, Sumatera Utara dan sejumlah kota di Kalimantan Barat.
"Tahun 2025 ini, hampir semua daerah itu warganya masih ingin bekerja di luar negeri. Ini menjadi salah satu faktor utama, yakni soal akses pekerjaan," kata Hariyanto kepada Alinea.id, Minggu (13/4).
Berbasis laporan yang masuk ke SBMI, Hariyanto mengungkap ada modus baru yang menyerupai bisnis multi level marketing (MLM) dalam kasus-kasus TPPO ke Kamboja dan Myanmar. Dalam modus itu, korban TPPO baru bisa bebas jika mampu mencari lima sampai sepuluh orang pengganti.
"Tetapi, yang diincar (korban TPPO pertama) biasanya orang terdekatnya, semisal teman-temannya atau orang satu kampungnya. Satu orang pulang ke Indonesia, kemudian sepuluh orang berangkat ke Myanmar," kata Hariyanto.
Hariyanto mengaku sulit untuk melaporkan kasus TPPO bermodel MLM itu. Pasalnya, banyak pelaku yang juga berstatus korban. Ia mendorong agar pemerintah menggelar upaya-upaya diplomatis untuk memulangkan para korban dan mencegah kasus serupa terulang.
"Kami susah untuk menyasar terkait dengan pelaku di Indonesia, maka kami meminta kepada kedutaan Myanmar karena bisnis ini ada di sana. Dampaknya luar biasa. Sampai ada pemulangan 506 orang yang kemudian direspons oleh pemerintah Indonesia," kata Haryanto.
Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding (bertopi) menghadiri penyegelan sebuah perusahaan penempatan pekerja migran yang beroperasi di Bekasi, Jawa Barat, Maret 2025. /Foto Instagram @abdulkadirkarding
Indikasi krisis
Direktur Eksekutif Migran Care, Wahyu Susilo menilai naiknya jumlah kasus TPPO ke Myanmar dan Kamboja mengindikasikan krisis multidimensi. Salah satunya pemicu ialah minimnya lapangan kerja domestik yang ditandai dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah sektor.
"Hal ini sudah terjadi sejak pandemi Covid-19. Kami sering menamakan fenomena ini adalah fenomena lapar kerja. Keinginan orang untuk bekerja sangat tinggi sehingga peluang sekecil apa pun itu akan diambil," kata Wahyu kepada Alinea.id, Minggu (14/4).
Menurut Wahyu, korban tak hanya berasal dari kelas bawah saja. WNI yang punya titel sarjana juga tak lepas dari jerat TPPO ke kedua negara itu. Mereka nekat berangkat ke Myanmar dan Kamboja karena tak punya peluang pekerjaan di Indonesia.
"Mereka kebanyakan dari perkotaan dan terjebak di sektor-sektor kerja yang berkaitan dengan penyalahgunaan teknologi digital, semisal sebagai operator judi online atau pun scamming," kata Wahyu.
Sebagai salah satu solusi, Wahyu mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). UU TPPO saat ini belum mencakup dimensi pencegahan kejahatan bermodus penyalahgunaan teknologi digital.
"Ini ada kelemahan pada UU trafficking kita. Aturan ini belum punya dimensi mengenai pencegahan atau kriminalisasi yang dilakukan dengan penyalahgunaan teknologi. Itu belum terkandung di dalam UU," ujar Wahyu.