Gencatan senjata Israel-Hamas: Akankah berujung perdamaian?
Setelah 467 hari berkonflik di Gaza dan sejumlah wilayah di Palestina, kelompok pejuang Hamas dan Israel akhirnya menyepakati gencatan senjata. Kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan antara Israel dan Hamas yang dimediasi Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar di Doha, Qatar, Rabu (15/1) malam waktu setempat.
Gencatan senjata disusun dalam bentuk tiga tahapan dengan durasi 42 hari untuk setiap tahapan. Pada tahap pertama, semua bentuk kontak senjata antara Israel dan Hamas dihentikan. Seiring itu, kedua kubu menyepakati sejumlah hal, di antaranya pertukaran tawanan perang, pembukaan perlintasan Rafah, dan kembalinya warga setempat ke Gaza.
Pada tahap kedua, kedua kubu direncanakan kembali bertemu untuk membahas kesepakatan damai yang lebih permanen, pelepasan sisa tawanan Israel dan warga Gaza yang tidak terlibat dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, serta penarikan pasukan Israel dari sejumlah wilayah di Palestina.
Pada tahapan terakhir, kubu Israel dan Hamas saling tukar jenazah tahanan perang. Kedua kubu juga sepakat membuka perlintasan keluar-masuk Jalur Gaza dan mengimplementasikan rencana rekontruksi Gaza dalam tiga tahun mendatang.
Presiden Israel Isaac Herzog meminta pemerintahan dan parlemen Israel menyetujui kesepakatan gencatan senjata dengan Israel. Kesepakatan itu rencananya bakal dibahas dan diputuskan dalam sebuah pemungutan suara di Israel, pekan depan.
"Saya mendukung perdana menteri dan tim negosiator dalam kerja keras mereka untuk mencapai kesepakatan ini... Kita harus mendukung kesepakatan supaya putra dan putri kita bisa pulang dari medan tempur," kata Herzog seperti dikutip dari Times of Israel.
Hingga Januari 2025, setidaknya 46 ribu warga Palestina tewas dalam perang antara Hamas vs Israel. Sebagian besar ialah perempuan, anak-anak, dan orang tua. Di kubu Israel, setidaknya 1,706 warga Israel tewas imbas perang. Selain itu, ratusan ribu orang terpaksa mengungsi akibat perang.
Kekejaman Israel dalam perang di Gaza dan Rafah memicu kemarahan dunia. Pada pertengahan 2024, gelombang protes terhadap invasi Israel meletus di berbagai kampus di Amerika Serikat dan Eropa. Kalangan aktivis dan mahasiswa meminta Israel menghentikan genosida di Palestina.
Pakar kajian Timur Tengah dan Afrika dari Council on Foreign Relations (CFR), Steven A. Cook menilai kesepakatan gencatan senjata tiga tahap antara Hamas dan Israel rentan digembosi. Gencatan senjata dan pertukaran tawanan perang tidak serta merta mengakhiri konflik antara Palestina dan Israel.
Ia berkaca pada gagalnya kesepakatan Oslo pada 1993 menciptakan perdamaian permanen di tanah Palestina. Pihak-pihak yang tak setuju perdamaian, kata Cook, bisa merusak proses negosiasi melalui manuver politik atau bahkan lewat kekerasan.
"Merusak legitimasi pembicaraan damai hingga akhirnya batal. Pada saat ini, yang potensial jadi perusak pembicaraan damai ialah penduduk Israel yang ingin kehancuran total Hamas dan pendudukan Gaza serta kaum esktremis Palestina yang percaya mereka memenangi perang," kata Cook dalam sebuah analisis di CFR.
Kedua pihak, terutama Israel, menurut Cook, bisa mangkir dari kesepakatan awal. Itulah kenapa Hamas tak mau melepas begitu saja 98 tawanan perang dari Israel. Ketika tawanan-tawanan perang itu kembali ke Israel, Hamas tak punya lagi daya tawar untuk kesepakatan gencatan senjata.
"Hamas tak punya alasan kuat untuk percaya bahwa Israel tak akan kembali ke medan perang demi menghancurkan mereka. Selama berbulan-bulan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menjanjikan itu. Pada saat yang sama, Hamas juga punya insentif untuk berperang mengingat konflik di Gaza menggerus reputasi Israel di mata dunia internasional," jelas Cook.
Marika Sosnowski, peneliti postdoctoral di Melbourne University, Australia, berpendapat kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas menunjukkan ketimpangan kekuatan antara kedua kubu. Hamas terlihat banyak mengalah supaya gencatan senjata bisa terealisasi.
"Untuk mencapai kesepakatan, Hamas telah mengesampingkan dua tuntutan utama mereka, yakni penarikan menyeluruh pasukan Israel dari Jalur Gaza dan gencatan senjata permanen," jelas Sosnowski dalam sebuah artikel di The Conversation.
Secara khusus, Sosnowski menyoroti klausa harus adanya negosiasi lanjutan dalam 16 hari setelah gencatan senjata berlaku sebelum tahapan kedua bisa berlanjut. Itu menunjukkan tidak ada kepastian gencatan senjata antara kedua belah pihak bahkan bakal berlanjut hingga tahap akhir.
"Untuk kesepakatan serupa yang sebelumnya pernah dibahas, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah tegas mengatakan bahwa ia akan terus melanjutkan perang untuk menghancurkan Hamas setelah fase pertama lewat," kata Sosnowski.
Gencatan senjata, lanjut Sosnowski, bukan berarti akhir dari perang antara Hamas dan Israel. Kesepakatan itu hanya menandai fase baru dalam konflik kedua kubu. "Tetapi, ini melegakan dan pilihan yang lebih baik untuk menghentikan sementara kekerasan," ujarnya.