Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluhkan banyaknya pekerja titipan orang dalam alias ordal di badan usaha milik daerah (BUMD). Menurut Tito, pegawai atau bahkan pejabat titipan ordal itu yang bikin banyak BUMD terus merugi dan bahkan nyaris bangkrut.
"Hampir separuhnya (dari total jumlah BUMD) berdarah (merugi) karena menaruh orang yang tidak kapabel," kata Tito saat Rapat Koordinasi Nasional Keuangan Daerah di Jakarta, Rabu (18/12).
Total ada 1.057 BUMD yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mayoritas BUMD berkinerja buruk dan tak punya kontribusi nyata terhadap peningkatan pendapatan asli daerah.
Tito mengatakan Kemendagri sudah mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan penghentian operasional BUMD yang tidak dapat diselamatkan.
“Jika operasional BUMD yang bermasalah ini terus dilanjutkan, dana APBD akan terus terkuras hanya untuk menutup kerugian mereka. Ini tidak sehat untuk keuangan daerah,” tegasnya.
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Warkhatun Najidah menilai penyataan Tito terkesan naif. Menurut dia, Tito semestinya memetakan persoalan-persoalan yang dihadapi BUMD yang terus merugi sebelum menginstruksikan pembubarannya.
"Harus ada kualifikasi yang jelas dulu apakah BUMD itu merugi karena bisnis atau ada kejahatan di situ, ada kelalaian, ada crime, ada fraud. Harus terkualifikasi apakah kerugian bisnis atau kerugian keuangan negara. Kalau tiba-tiba dibubarkan dengan alasan rugi, enak sekali koruptornya," kata Najidah kepada Alinea.id, Sabtu (21/12).
Lebih jauh, Najidah menilai pernyataan Tito soal pegawai titipan ordal ironis. Pasalnya, sudah ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2018 yang diterbitkan sebagai panduan menyaring calon-calon pegawai titipan ordal.
Dalam Permendagri itu ditegaskan syarat-syarat yang wajib dipatuhi untuk menjadi anggota direksi BUMD. Selain tidak dalam kondisi terpidana, orang itu juga tidak sedang menjadi pengurus partai atau calon legislatif.
"Mendagri ini aneh jika dia mengeluh tentang ordal. Dia sudah membuat saringan untuk ordal. Nah, saringannya jebol, BUMD-nya mau dibubarkan. Harusnya bikin saringan yang lebih canggih lagi dong, Pak Menteri," kata Najidah.
Menurut Najidah, ordal merupakan wabah birokrat sejak lama dan sulit diberantas meskipun sudah ada regulasi yang membatasi dan dibentuk dewan pengawas. Dewan pengawas juga tak bertaji karena kerja utamanya hanya mengeluarkan rekomendasi dan melaporkan hasil pengawasan ke kepala daerah.
Najidah mengatakan untuk menjadikan BUMD sehat, pembubaran bukanlah satu- satunya jalan. Penggabungan, peleburan atau pengambilalihan bisa menjadi opsi menyelematkan BUMD, diiringi restrukturisasi, akuisisi, likuidasi baru pembubaran.
"Jika terindikasi adanya praktek koruptif dalam bisnisnya, harus ada penegakan hukum. Aset bisa kembali atas pertanggungjawaban pidananya. Bukan bubar yang berakhir dengan lepas," kata Najidah.
Dosen ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Yusuf Fadli menilai fenomena ordal dalam pemerintahan semakin kronis. Sebab, ordal menjangkiti seluruh sektor pemerintahan mulai dari birokrasi, politik, hukum termasuk pengelolaan sektor bisnis.
"Hal tersebut juga dipicu oleh perilaku elite di level pusat yang secara telanjang menormalisasi praktik-praktik ordal tersebut. Tito harusnya malu mengkritik praktik ordal di level daerah, tapi persekongkolan ordal di level pusat beliau bungkam," kata Yusuf kepada Alinea.id, Sabtu (21/12).
Yusuf menilai BUMN nasional juga banyak menampung ordal. Penempatan orang-orang tak profesional, tetapi dekat dengan kekuasaan masif di seluruh BUMN. Banyak pula BUMN yang ambruk karena dikelola asal-asalan oleh pegawai titipan ordal yang tidak kompeten.
"Saya pikir Tito menjadi penikmat dari praktik culas tersebut. Selanjutnya penempatan orang dekat kekuasaan di hampir seluruh BUMN yang sebagian besar tidak profesional, apakah Tito pernah mengkritik? Nyaris enggak ada komentarnya," kata Yusuf.
Yusuf melihat Tito sedang mengorkestrasi keinginan pemerintah pusat untuk mendegradasi otonomi daerah yang mengarah pada resentralisasi. Terlebih, saat ini ada upaya mengembalikan pilkada ke tangan DPRD. "Sekarang Tito ingin mencampuri BUMD," tuturnya.
Namun demikian, pemerintah daerah juga harus berbenah. Untuk mencegah cawe-cawe pusat yang terlampau jauh ke urusan daerah, pemda harus menunjukkan BUMD bisa dikelola secara profesional dan untung. "Bukan semata menjadi bancakan para politisi busuk," kata Yusuf.