Sejumlah draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) beredar di media sosial. Dalam salah satu draf yang beredar, terdapat poin krusial yang isinya membatasi kewenangan penyidikan Kejaksaan Agung hanya pada kasus-kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 6 draf RUU KUHAP tentang penyidik yang beredar pada 3 Maret 2025. Pasal itu merinci kategori penyidik, yakni penyidik Polri, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan penyidik tertentu.
Pada ayat (2) pasal draf revisi KUHAP, dijelaskan bahwa penyidik Polri ialah penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Adapun yang dimaksud penyidik tertentu adalah penyidiks Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik perwira TNI AL dalam kasus pelanggaran hukum di laut, dan jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman berdalih draf revisi KUHAP yang beredar di publik saat ini bukan draf final. Ia menegaskan kewenangan aparat penegak hukum tidak akan berubah.
"Secara garis besar, KUHAP baru tidak mengubah kewenangan, tugas pokok, dan fungsi institusi aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses acara pidana," ujar Habiburokhman kepada wartawan di Jakarta, Rabu (19/3) lalu.
Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto mempertanyakan pembatasan kewenangan jaksa sebagaimana tertulis dalam draf RUU KUHAP yang beredar awal Maret lalu. Ia berharap kewenangan Kejaksaan Agung dalam menyidik kasus-kasus dugaan korupsi tidak dipangkas.
Jika itu terjadi, patut diduga ada upaya elite-elite politik untuk kembali melemahkan upaya pemberantasan korupsi setelah revisi KPK dikebiri kewenangannya lewat revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
"Karena, saat ini, realitanya Kejaksaan Agung menunjukkan prestasinya dalam mengungkap tindak pidana korupsi, antara lain kasus dugaan korupsi di PT Pertamina, PLN dan Antam yang nilainya hingga ribuan triliun," kata Wisnu kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan disebutkan bahwa penyidik kejaksaan punya kewenangan menyidik kasus dugaan pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XXII/2024 juga menegaskan hal itu.
Menurut Wisnu, draf RUU KUHAP yang masih bisa berubah. Ia meminta agar kejaksaan tetap punya kewenangan menyidik kasus korupsi. "Ada kemungkinan dilakukan revisi dan ditinjau ulang menyoal kewenangan jaksa dalam penyidikan," imbuhnya.
Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini sepakat kewenangan kejaksaan dalam menyidik kasus-kasus dugaan korupsi perlu dipertahankan. Menurut dia, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditangani banyak lembaga penegak hukum.
"Tidak apa-apa jika korupsi kewenangannya ada pada beberapa lembaga. Dengan begitu, tidak terjadi kewenangan dan kekuasaan tunggal yang akhirnya menihilkan upaya korektif. Itu juga revisi KUHAP harus clear dan melibatkan semua pihak secara merata juga objektif," kata Orin kepada Alinea.id, Kamis (20/3).
Jika direalisasikan, Orin menduga pemangkasan kewenangan kejaksaan merupakan pesanan pihak-pihak tertentu. Ia menyebut ada lembaga yang ingin jadi super body dalam urusan pemberantasan korupsi dan tak ingin "lapak" itu diganggu.
"Apalagi jika orang-orang yang ada di lembaga sudah dikondisikan. Tahu juga seperti apa kinerja KPK dan kepolisian saat ini sangat sensasional. Lebih dari itu, memang secara kewenangan menjadi tidak balance," kata Orin.