close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep. /Foto Instagram @kaesangp
icon caption
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep. /Foto Instagram @kaesangp
Peristiwa
Senin, 23 September 2024 14:07

Janggalnya penanganan dugaan gratifikasi Kaesang oleh KPK

Kaesang disebut-sebut tak mungkin bisa menumpang jet pribadi jika Jokowi bukan presiden.
swipe

Tak seperti kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan keluarga pejabat lainnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkesan "masuk angin" dalam penanganan kasus dugaan gratifikasi yang melibatkan putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep. Meskipun kasusnya telah bergulir selama beberapa pekan, KPK tak kunjung mengumumkan hasil analisis mereka. 

Kejanggalan-kejanggalan pun bermunculan. Deputi pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, misalnya, menyebut biaya yang mestinya dikeluarkan Kaesang untuk naik jet pribadi ke Amerika Serikat (AS) hanya Rp90 juta per orang. 

"Jadi kira-kira Rp 90 juta, kalau berempat, kira-kira Rp 360 juta kalau ditetapkan milik negara," ujar Pahala kepada wartawan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, belum lama ini. 

Kaesang berkunjung ke AS bersama istrinya Erina Gundono dan dua kerabatnya menumpang jet pribadi bertipe Gulfstream G650. Pada situs resmi, biaya sewa jet tipe itu sekitar US$ 11.000-17.000 atau setara dengan Rp169,67 juta hingga Rp262,22 juta per jam.

Tak hanya itu, KPK juga seolah tak berniat mengklarifikasi Y, sobat Kaesang yang jet pribadinya "ditebengi" Kaesang. Menurut Pahala, klarifikasi hanya bakal dilakukan sesuai kebutuhan. "Kami lihat ya. Kami lihat apakah bener begitu," kata Pahala. 

Sebelumnya, Kaesang telah mengklarifikasi penggunaan jet pribadi dalam lawatannya ke AS. Ia menyebut "nebeng" pesawat milik temannya. Namun, KPK menemukan Y tak ada di pesawat saat Kaesang dan Erina terbang ke AS. 

Ketua IM57+ Institute M Praswad Nugraha menilai KPK terkesan tebang pilih dalam penanganan kasus Kaesang. Padahal, KPK cenderung bergerak kilat saat menangani kasus gratifikasi yang melibatkan eks pejabat Dirjen Pajak Rafael Alun Trisambodo dan eks pejabat Dirjen Bea Cukai Andhi Pramono. 

“Apakah memang saat ini KPK sudah menjadi tumpul ketika berhadapan dengan kekuasaan? Hal ini tentu saja harus dibuktikan dengan kinerja KPK, bukan dengan retorika di media massa," kata Praswad kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (21/9).

Di dalam praktik penegakan hukum, Praswad menjelaskan gratifikasi dapat diberikan secara langsung maupun tidak langsung kepada penyelenggara negara. Salah satu pendekatan yang paling umum adalah gratifikasi kepada penyelenggara negara diberikan melalui keluarganya.

Menurut dia, modus operandi semacam itu menjadi praktik pemberian gratifikasi yang paling banyak terjadi selama ini. “Sehingga jangan ada yang coba-coba menyesatkan logika bahwa gratifikasi harus diterima langsung oleh penyelenggara negara,” imbuhnya. 

Kasus Kaesang, kata Praswad, seharusnya dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap dugaan-dugaan penyalahgunaan wewenang atau trading of influence lainnya yang mungkin diterima Kaesang sebagai putra Jokowi. Ia mencontohkan bagaimana KPK menjerat Rafael Alun dan Andhi Pramono dari kasus-kasus yang melibatkan keluarga mereka. 

“KPK selama ini selalu bisa membuktikan, pasti ada pemberian-pemberian lainnya selain yang terekspose di media. Mengapa untuk kasus dugaan gratifikasi Kaesang KPK seolah-olah menjadi kebingungan untuk memahami anatomi perkara ini,” ujarnya.

Secara khusus, Praswad juga menyoroti pernyataan-pernyataan Pahala yang terkesan membela Kaesang. Ia menduga Pahala terjebak konflik kepentingan lantaran statusnya sebagai calon pimpinan KPK. "Seakan semua alasan yang dikemukakan Kaesang merupakan alasan rasional," imbuh Praswad. 

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan meyakini ada trade of influence dalam kasus dugaan gratifikasi Kaesang. Menurut Anthony, Kaesang difasilitasi jet pribadi lantaran status Jokowi sebagai presiden. 

“Artinya, Kaesang tidak akan diberikan pelayanan perjalanan private jet (tanpa bayar), kalau ayahnya hanya seorang penjual martabak,” kata Anthony dalam sebuah siaran pers yang diterima Alinea.id, Rabu (18/9).

Lebih jauh, Anthony menilai Kaesang telah berbohong kepada KPK. Menurut dia, biaya perjalanan sebesar Rp90 juta per orang itu untuk menyewa jet pribadi sangat tak masuk akal. 

“Pasti jauh lebih besar dari Rp90 juta per orang seperti pengakuan Kaesang. Artinya, selisih antara nilai wajar biaya private jet dengan biaya yang diakui Kaesang sebesar Rp90 juta per orang, akan menjadi gratifikasi,” jelas Anthony. 

 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan