close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi palu hakim./Foto sergeitokmakov/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi palu hakim./Foto sergeitokmakov/Pixabay.com
Peristiwa - Hukum
Rabu, 24 Juli 2024 12:25

Jerat hukum saksi palsu

Kesaksian palsu terungkap dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016 lalu.
swipe

Dede, yang disebut-sebut sebagai saksi kunci pembunuhan pasangan kekasih Vina Dewi Arsita dan Muhamad Rizky Rudiana alias Eky di Cirebon, Jawa Barat pada 2016 lalu, muncul menemui mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Pertemuan pertama kali itu terekam dalam kanal YouTube Dedi Mulyadi pada Minggu (21/7).

Dede mengakui kesalahannya kepada Dedi karena telah memberikan keterangan keliru dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Dede mengatakan, awalnya dia diajak temannya, Aep—yang sama-sama bekerja di tempat pencucian kendaraan—ke Polres Cirebon.

Setibanya di sana, kata Dede, Aep dan Iptu Rudiana—ayah Eky—memintanya agar menjadi saksi dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky. Ia mengaku diarahkan Aep dan Rudiana, seolah-olah mengetahui peristiwa itu. Misalnya, melihat sepeda motor Vina dan Eky dilempari batu dan berada di warung tak jauh dari tempat para terpidana berkumpul. Dede juga menegaskan tak diberi bayaran sepeser pun setelah memberi keterangan palsu.

Akibat kesaksian palsu Dede dan Aep, delapan orang menjadi tersangka. Satu orang sudah bebas, sedangkan tujuh lainnya harus menerima vonis seumur hidup. Para terpidana pun diduga merupakan korban salah tangkap.

Sebelumnya, pada Rabu (10/7), Dede dan Aep dilaporkan keluarga tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky ke Bareskrim Polri di Jakarta. Didampingi Dedi Mulyadi, pengacara, dan perwakilan organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), mereka melaporkan Dede dan Aep atas kesaksian palsu.  

Pada Selasa (25/6), keluarga tujuh terpidana juga mendatangi bareskrim Polri, melaporkan mantan Ketua RT di Karyamulya, Kesambi, Cirebon, yakni Abdul Pasren terkait kesaksian palsu pula.

Menurut dosen hukum pidana dari Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini, sejak lama persoalan saksi palsu sering membayangi proses penyidikan. Hal itu terjadi, kata dia, tak bisa dilepaskan dari kualitas sumber daya manusia, manajemen kepolisian, mekanisme kerja, pengawasan, serta evaluasi terhadap kualitas penyidikan yang lemah.

“Padahal semua itu penting, supaya penyidikan yang dilakukan minim dari kesalahan, seperti salah tangkap, pemaksaan menggunakan kekerasan membuat orang yang bukan pelaku menjadi mengaku, atau saksi palsu,” ucap Orin kepada Alinea.id, Selasa (23/7).

Orin mengatakan, penyidikan tidak bsia didasarkan hanya pada pengakuan tersangka atau saksi-saksi belaka. Menurutnya, penyidikan yang hanya didasarkan pada pengakuan saksi akan sangat rentan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenaran materialnya.

“Sehingga kasus akan dibuat asal tuntas, agar bisa bergeser ke penuntutan oleh jaksa,” ujar Orin.

“Sedangkan proses penuntutan juga akan sangat bergantung pada hasil penyidikan karena polisi itu adalah pintu pertama dalam proses sistem peradilan pidana yang akan dijalankan.”

Ia menekankan, penyidikan kasus hukum harus berdasarkan justifikasi ilmiah, logika, dan konsistensi terhadap seluruh keterangan dan alat bukti yang bisa dipertanggung jawabkan. “Ini semua tentu akan berhubungan dengan SDM, manajemen penyidikan, dan sarana-prasarana,” tutur Orin.

Orin menyebut, saksi palsu diatur dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 174 ayat (1) aturan itu menyebut, bila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukaakan ancaman-ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila tetap memberikan keterangan palsu.

Pasal 174 ayat (2) beleid itu menyebut, apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.

Sementara dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP disebutkan, barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Lalu, di dalam pasal 242 ayat (2) beleid itu disebutkan, jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam pidana penjama paling lama sembilan tahun.

Orin menyarankan, agar tak selalu berulang, aparat penyidik penegak hukum mesti berpijak pada penalaran, logika hukum, serta kesesuaian dengan fakta. Termasuk kualitas alat bukti yang dapat dipertanggung jawabkan atau dijustifikasi konsistensinya.

“Sehingga penyidikan didasarkan pada hal-hal yang bersifat ilmiah, bukan dari pengakuan saja,” kata Orin.

“Itulah yang disebut sebagai proses penyidikan yang berdasarkan scientific crime investigation. Termasuk kalau ada alat bukti elektronik, maka alat bukti itu harus diuji orisinalitasnya lewat digital forensik.”

Terpisah, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, saksi palsu dalam penyidikan bisa dicegah bila penyidik serius “memprofil” saksi, dengan ketentuan melihat, mendengar, dan merasakannya sendiri. Jika sampai ada saksi palsu, maka indikatornya ada ketidakprofesionalan penyidikan.

“Karena dari pernyataan saksi palsu dipastikan ada pernyataan yang tidak logis. Saksi palsu dapat diproses pidana, selain kesaksiannya gugur karena tidak sah,” ujar Fickar, Senin (22/7).

Bukan hanya saksi palsu, Fickar mengatakan, oknum provokator yang mendesak saksi palsu juga bisa diproses hukum. Agar kejadian kesaksian palsu tak berulang, Fickar menekankan, semua pihak yang membantu terciptanya kesaksian palsu harus diproses pidana.

“Sekalipun dia pejabat, sekalipun juga anggota kepolisian,” kata Fickar.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan