Rencana ribuan hakim di pengadilan-pengadilan seluruh Indonesia untuk menggelar aksi mogok sidang demi menuntut kenaikan gaji dan tunjangan pada 7-11 Oktober 2024 menuai pro-kontra. Para hakim dinilai merendahkan martabatnya karena menggelar protes semacam itu.
Namun, ada pula yang menganggap langkah tersebut tepat karena profesi hakim mestinya diperhatikan negara. Apalagi, sudah 12 tahun gaji hakim tak mengalami penyesuaian. Gaji yang rendah dan tunjangan yang minim diklaim sebagai salah satu faktor penyebab banyak pengadil yang terjerembab ke lembah korupsi.
Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto menyebut kesejahteraan hakim memang belum jadi perhatian serius pemerintah sejak era Reformasi. Itu setidaknya terlihat dari mangkraknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim.
"Tidak kunjung disahkan. Akibatnya, tidak seperti ASN (aparatur sipil negara) yang gajinya mengalami beberapa kali kenaikan, gaji hakim sudah lebih dari 12 tahun tidak pernah naik," ucap Wisnubroto kepada Alinea.id, Jumat (27/9).
Upah hakim saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Namun, substansi dari regulasi itu belum sepenuhnya dipatuhi negara.
"Mulai dari jaminan keamanan, protokoler, dan jaminan kesehatan. RUU Jabatan Hakim merupakan langkah politik yang harus diprioritaskan oleh DPR agar ke depan hakim-hakim di Indonesia memiliki status yang jelas dan hak-haknya terjamin sehingga lebih fokus mengadili perkara dengan melahirkan putusan-putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat," tutur Wisnubroto.
Namun demikian, Wisnubroto tak sepakat para hakim menggelar cuti bersama untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka. Apalagi, tidak ada korelasi ilmiah yang menunjukkan bahwa rendahnya upah hakim menjadi penyebab maraknya kasus korupsi di lingkungan pengadilan.
"Gerakan solidaritas hakim tersebut akan menurunkan serendah-rendahnya derajat hakim menjadi sekelas buruh atau kuli-pekerja. Seharusnya profesionalitas dan intelektualitas yang ada dalam kehidupan seorang hakim, menuntut mereka untuk menyampaikan protesnya dengan cara-cara yang terhormat, bermartabat, agung, dan mulia," ucap Wisnubroto.
Berbeda, dosen hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini justru mendukung aksi "mogok sidang" yang bakal digelar para hakim untuk menuntut kesesuaian gaji. Menurut dia, sudah sepatutnya negara menjamin kesejahteraan hakim.
"Hakim itu pekerjaan yang mulia, begitu banyak intervensi dan ancaman terhadap kerja-kerja hakim, mulai dari keamanan hakim, opini publik terhadap hakim, dan hal-hal lain yang harus dihadapi seorang hakim. Belum lagi menumpuknya perkara di pengadilan yang luar biasa banyaknya," ucap Orin kepada Alinea.id, Sabtu (28/9).
Orin sepakat kenaikan gaji para pengadil tak serta-merta menjadi jaminan hakim bakal memegang teguh integritasnya di persidangan. Namun, itu bukan alasan bagi negara untuk mengabaikan kesejahteraan para hakim.
"Soal integritas, ada kiasan bahwa 'putusan hakim tergantung sarapan paginya'. Saya kira hal ini relevan walaupun tidak menjadi jaminan bahwa pascakenaikan gaji tidak akan ada hakim yang terjerat korupsi," ujar Orin.
Sebelumnya, juru bicara Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, Fauzan Arrasyid mengatakan bakal menggelar protes menyikapi gaji para hakim yang tak naik selama belasan tahun. Menurut dia, upah yang diterima para hakim di seluruh Indonesia saat ini memprihatinkan.
Ia mengklaim rendahnya upah dan tunjangan para hakim jadi salah satu pemicu kasus-kasus suap dan korupsi di pengadilan. "Karena itu, revisi terhadap PP 94/2012 untuk menyesuaikan penghasilan hakim menjadi sangat penting dan mendesak,” kata Fauzan.