Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pemuda tunadaksa berinisial IWAS di Nusa Tenggara Barat (NTB), dikutip dari Antara, kini masuk dalam tahap penelitian berkas oleh jaksa. Dalam kasus itu, mulanya penyidik Polda NTB mendapatkan bukti keterangan dari dua korban. Ada alat bukti lain berupa hasil visum korban, saksi dari rekan korban dan tersangka, serta pemilik sebuah penginapan yang menjadi lokasi pelecehan.
Keterangan ahli psikologi dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) menguatkan alat bukti. Penyidik pun menguraikan modus IWAS melakukan perbuatan pidana asusila terhadap korban, yakni dengan mengandalkan komunikasi verbal yang bisa memengaruhi psikologi korban.
Penyidik menerapkan sangkaan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). IWAS sendiri berstatus tahanan rumah sejak Selasa (3/12).
Di sisi lain, dinukil dari Antara, Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Provinsi NTB Joko Jumadi mengungkapkan, korban dugaan tindak pidana asusila yang dilakukan IWAS berjumlah 13 orang. Awalnya, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di penyidik, hanya tiga orang. Namun, ada tambahan 10 orang yang disampaikan kepada KDD NTB.
Menurut Joko, dari 10 orang yang masuk pelaporan ke KDD NTB, rinciannya tujuh orang dewasa dan tiga masih anak-anak.
“Apakah nanti ini akan masuk satu perkara atau laporan baru, ini yang masih jadi persoalan. Kalau yang berstatus anak-anak, kemungkinan akan ada laporan baru karena pasal yang diancamkan berbeda,” ujar Joko di Mataram, NTB, Selasa (3/12), seperti dikutip dari Antara.
Menanggapi kasus ini, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Saputra Hasibuan mengatakan, pemeriksaan terhadap tersangka yang menyandang tunadaksa, harus dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Segala hak tersangka, termasuk hak didampingi penasihat hukum, menerima kunjungan, serta tidak dipaksa memberikan keterangan, harus dipenuhi.
“Pemeriksaan harus dilakukan secara profesional dan berpegang pada prinsip keadilan,” kata Edi kepada Alinea.id, Kamis (5/12).
Menurut Edi, jika tersangka merupakan seseorang tanpa gangguan mental yang signifikan, meski punya kekurangan fisik, maka berhak mendapatkan perlakuan yang sama seperti tersangka lainnya. Namun, jika terdapat indikasi gangguan mental atau kondisi kejiwaan tertentu, maka harus diselidiki lebih lanjut dengan bantuan psikolog atau psikiater.
“Penyidik juga perlu mendalami motif tindakan tersangka, apakah tindakan tersebut dilakukan karena alasan tertentu atau ada faktor lain, seperti gangguan psikologis atau lingkungan yang memengaruhi,” ujar Edi.
”Semua ini harus menjadi bagian dari proses investigasi yang menyeluruh dan berbasis fakta.”
Sementara itu, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Bahrul Fuad menyebut, pihaknya belum menerima pengaduan langsung dari korban dugaan pelecehan yang dilakukan pemuda dengan tunadaksa di NTB.
“Salah satu alasan kasus ini ramai diperbincangkan karena pelaku adalah seorang penyandang disabilitas, sehingga muncul asumsi di masyarakat bahwa tindakan tersebut tidak mungkin terjadi,” tutur Bahrul, Kamis (5/12).
Meski begitu, Bahrul menegaskan, prinsip Komnas Perempuan adalah mempercayai korban, terutama korban kekerasan seksual. Komnas Perempuan, kata dia, percaya pada pengakuan korban, sedangkan pelaku akan melewati proses pengadilan untuk menentukan kebenarannya.
“Proses hukum ini juga harus memastikan bahwa terduga pelaku, yang dalam hal ini penyandang disabilitas, tetap mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan pemerintah tentang penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” kata Bahrul.
Beleid yang dimaksud Bahrul adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
“Kami akan menyerahkan kasus ini kepada penegak hukum dengan catatan penting bahwa akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas harus diperhatikan dalam proses hukum tersebut,” ujar Bahrul.
Lebih lanjut, Bahrul mengingatkan agar masyarakat bersikap objektif terhadap kasus ini, dan tak menarik kesimpulan berdasarkan asumsi semata.
“Penting untuk diingat bahwa penyandang disabilitas adalah manusia biasa yang memiliki hak yang sama, dan status atau kondisi mereka tidak boleh menjadi dasar stigma,” kata Bahrul.
“Semua fakta akan dibuktikan dalam pengadilan sesuai dengan hukum yang berlaku.”