close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pembakaran./Foto raedon/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi pembakaran./Foto raedon/Pixabay.com
Peristiwa - Kriminal
Jumat, 20 September 2024 14:35

Kasus ayah bakar anak: Apakah semata tersulut emosi?

Peristiwa ayah membakar anaknya sendiri itu terjadi di Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Ternate Tengah, Maluku Utara, Kamis (12/9).
swipe

Seorang ayah bernama Iwan Hasan, 44 tahun, tega membakar anak perempuannya berinisial MH, 13 tahun. Peristiwa itu terjadi di Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Ternate Tengah, Maluku Utara, Kamis (12/9).

Pihak kepolisian menjelaskan, kasus ini berawal ketika korban keluar dari rumah pada Selasa (10/9) dini hari, tanpa sepengetahuan orang tua. Ayahnya mencarinya, hingga akhirnya korban ditemukan di rumah salah seorang temannya di Kelurahan Sofifi, Kota Tidore.

Pelaku membawa korban pulang. Lalu, mencukur habis rambut korban. Belum puas, pelaku lantas menyiramkan korban dengan minyak tanah dan membakarnya menggunakan api lilin.

Belakangan diketahui, kakak korban diduga kuat diperintahkan pelaku untuk mengambil minyak tanah di dapur. Kakak korban mengambilkannya diduga karena takut setelah diancam pelaku. Setelah korban terbakar, kakak korban berusaha memadamkan api dengan menumpahkan air sebanyak mungkin. Namun, tubuh korban sudah mengalami luka bakar berat dan dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Boesoirie Ternate.

Menurut Kasi Humas Polres Ternate, AKP Umar Kombong, penyidik telah menetapkan ayah korban, Iwan Hasan, sebagai tersangka. “Motifnya adalah tersangka tersulut emosi lantaran si korban meninggalkan rumah atau bermalam di luar rumah tanpa seizin dari ayahnya,” kata Umar kepada Alinea.id, Senin (16/9).

Sementara itu, psikolog klinis forensik A. Kasandra Putranto mengatakan, tetap harus dilakukan pemeriksaan psikologi secara langsung kepada pelaku untuk mengetahui psikodinamika kekerasan dan penyebab perilaku radikal yang diduga tersulut emosi itu. Dia menerangkan, kondisi tersulut emosi hingga bertindak radikal bisa terjadi karena beberapa faktor.

“Faktor tersebut seperti stres ekstrem karena situasi keuangan yang sulit, masalah kesehatan mental, atau tekanan hidup yang berat,” kata Kasandra, Rabu (18/9).

“(Hal itu) bisa membuat seseorang kehilangan kendali.”

Selain itu, krisis emosional karena frustasi, kemarahan, atau depresi yang mendalam bisa pula mendorong seseorang melakukan tindakan radikal dan tak terduga. Ada juga potensi pengalaman masa lalu karena trauma. Terutama yang berkaitan dengan hubungan keluarga.

Di samping itu, isolasi sosial karena kurangnya dukungan sosial yang memadai, kata Kasandra, bisa membuat seseorang merasa terjebak dan putus asa. Dinamika keluarga yang berkonflik pun dapat menciptakan ketegangan yang meningkat.

“Tindakan ekstrem seperti itu sering kali berasal dari masalah yang kumulatif,” kata Kasandra.

Lebih lanjut, Kasandra menerangkan, masalah kumulatif bisa dari tekanan emosional karena ketidakpatuhan berulang kali, problem komunikasi, situasi masa lalu, kesehatan mental, dan lingkungan sosial.

Meski demikian, dia mengatakan, emosi sesaat umumnya dianggap sebagai respons normal terhadap situasi tertentu. Wujud emosi, seperti marah, sedih, atau takut dapat muncul sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu. Biasanya akan berlalu, setelah situasi tersebut berakhir.

“Namun, jika emosi sesaat tersebut menjadi sangat intens, berkepanjangan, atau mengganggu fungsi sehari-hari, maka dapat menjadi gejala gangguan jiwa,” tutur dia.

“Beberapa kondisi yang mungkin terkait dengan emosi ekstrem, termasuk gangguan kecemasan, depresi, stres pasca-trauma, dan gangguan kepribadian.”

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan