close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
George Sugama Halim, pelaku penganiayaan pegawai toko roti di kawasan Cakung, Jakarta Timur. /Foto Instagram
icon caption
George Sugama Halim, pelaku penganiayaan pegawai toko roti di kawasan Cakung, Jakarta Timur. /Foto Instagram
Peristiwa
Rabu, 18 Desember 2024 14:06

Kasus George Sugama dan berulangnya "no viral, no justice"

Kasus Sugama, kriminalisasi Pegi, dan sejumlah kasus lainnya menunjukkan polisi hanya aktif bekerja saat ada tekanan dari publik.
swipe

Kinerja kepolisian dalam mengungkap kasus kriminal kembali menjadi sorotan publik. Teranyar, polisi dianggap lamban menangani kasus penganiayaan yang dilakukan anak bos toko roti bernama George Sugama Halim (GSH) terhadap pegawainya di kawasan Cakung, Jakarta Timur. 

Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly mengatakan kasus penganiayaan itu dilaporkan terjadi pada 17 Oktober 2024. Sehari setelah peristiwa itu, korban melaporkan kasus itu kepada aparat kepolisian. 

Namun, pelaku baru ditangkap pada Minggu (15/12) malam atau sekira tiga bulan setelah peristiwa itu terjadi. Polisi bergerak setelah video penganiayaan oleh Sugama viral di media sosial. Sugama ditangkap di salah satu hotel di Sukabumi, Jawa Barat. 

Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto mengatakan penanganan kasus Sugama mengindikasikan berulangnya fenomena no viral, no justice. Polisi, kata dia, terkesan baru serius menggarap kasus kriminal setelah ada desakan dari publik, khususnya warganet. 

"Fenomena no viral, no justice sebenarnya sudah cukup lama dan banyak contoh selain kasus  GSH. Hal tersebut merupakan tantangan serius bagi institusi Polri dalam menjalankan perannya di bidang penegakan hukum dan pengayom masyarakat," kata Wisnu, sapaan akrab Wisnubroto, kepada Alinea.id, Senin (16/12).

Fenomena no viral, no justice, misalnya, bisa dilekatkan pada kriminalisasi Pegi Setiawan dalam kasus pembunuhan Vina, Cirebon dan kasus revenge porn di Pandeglang, Banten. Aparat penegak hukum terkesan baru bersikap profesional setelah kasus-kasus itu jadi perbincangan publik. 

Peran publik dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum, menurut Wisnu, patut diapresiasi. Namun, ia menganggap tak semestinya fenomena no viral, no justice terus berulang. Polri harus berbenah supaya tak hanya terkesan reaktif dalam menegakkan hukum. 

Wisnu mengusulkan sejumlah langkah. Pertama, pelatihan tentang etika dan tanggung jawab dalam penegakan hukum dan memastikan polisi bertindak adil dan proaktif. Kedua, memperkuat mekanisme pengawasan internal untuk mengevaluasi kinerja anggota polisi secara berkala. Ketiga, membangun hubungan yang lebih baik antara polisi dan masyarakat untuk meningkatkan kepercayaan. 

"Untuk memastikan bahwa tindakan kepolisian tidak hanya reaktif terhadap tekanan publik, reformasi internal dan pendidikan etika bagi aparat sangat diperlukan. Di sisi lain, partisipasi masyarakat melalui media sosial bisa menjadi alat penting untuk mendorong keadilan, asalkan tetap disertai dengan kesadaran akan potensi penyalahgunaan informasi," kata Wisnu. 

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai fenomena no viral no justice terjadi lantaran polisi punya skala prioritas dalam menggarap kasus. Walhasil, kasus-kasus yang tak mendapat dukungan materi dan kekuasaan kerap dikesampingkan. 

"Dengan posisi korban yang lemah, sementara pelaku memiliki posisi yang dominan, patut diduga memang polisi bekerja karena tekanan viral lebih dulu. Kontrol dan pengawasan masyarakat melalui “no viral no justice” adalah cara yang sangat efektif untuk mendorong kepolisian bekerja secara adil seperti harapan publik," kata Bambang kepada Alinea.id, Senin (16/12).

Dia menilai peran warganet yang semakin mahir menguliti kerja aparat penegak hukum perlu terus dirawat. Di sisi lain, aparat kepolisian juga harus menjawab keraguan publik yang semakin skeptis terhadap kinerja Polri dengan menunjukkan sikap profesional ketiak menggarap kasus, termasuk dalam menyeleksi alat bukti. 

"Hal ini diperlukan untuk mewaspadai viralitas kasus hukum yang didengungkan buzzer pesanan. Sehingga kalau ada fenomena buzzer, tentu akan bisa terseleksi dengan pembuktian. Tanpa ada alat bukti yang benar, tekanan buzzer tidak akan kuat dan hanya menjadi noise," kata Bambang. 

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Josias Simon Raturambi berpendapat fenomena no viral, no justice bisa terjadi terjadi karena adanya rentang waktu dari tahap penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Rentang antar tahapan bisa semakin panjang jika petunjuk yang dikumpulkan kepolisian lemah.  

"Kesenjangan ini membuat partisipasi masyarakat menjadi penting mendesak dengan viralitas. Intinya perlu pengawasan dan kontrol internal dan eksternal (masyarakat) terhadap kinerja kepolisian dalam penanganan kasus agar transparan dan berlanjut," kata Josias kepada Alinea.id. 

Josias sepakat fenomena no viral, no justice dalam sebuah kasus juga perlu diwaspadai ditunggangi para buzzer. Pencegahan bisa dilakukan jika aparat penegak hukum mengikuti prosedur yang tepat dalam mengumpulkan alat bukti. 

"Di sisi lain, media bisa dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan tertentu dengan memberikan misinformasi atau disinformasi (hoax) terkait penanganan kasus. Ini pentingnya literasi kasus berbasis media agar peran semua pihak terkonfirmasi," kata Josias.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan