Suasana mencekam terjadi di Dusun Buntu Pangaturan, Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada Senin (22/7) dini hari. Saat itu, puluhan orang tak dikenal mendatangi rumah yang ditinggali masyarakat adat Sihaporas. Mereka lantas menangkap beberapa warga, antara lain Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Thomson Ambarita, Prado Tamba, dan Dosmar Ambarita.
Diduga pada penangkapan ini terjadi kekerasa fisik. Pada pagi hari, baru diketahui mereka dibawa polisi ke Polres Simalungun.
Salah seorang warga adat Sihaporas, Risnan Ambarita mengatakan, sebagian warga masih khawatir terhadap kejadian itu. “Thomson Ambarita mengalami luka di kepala. Jonny Ambarita tangannya terkilir,” tutur Risnan kepada Alinea.id, Minggu (29/7).
Risnan menjelaskan, seorang warga atas nama Dosmar Ambarita sudah dipulangkan. Sedangkan keempat warga lainnya masih ditahan, dengan tuduhan melakukan pengrusakan dan penganiayaan terhadap pekerja PT. Toba Pulp Lestari. Padahal, katanya, masalah ini berakar dari konflik agraria karena PT. Toba Pulp Lestari ingin mengambil alih lahan dan ruang hidup warga Sihaporas.
“Saat ini pendampingan terhadap korban yang sedang ditahan dengan dibantu pengacara di Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Bakumsu (Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara), juga sudah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM untuk mendapat perhatian,” ucap Risnan.
Risnan mengatakan, masyarakat adat Sihaporas tidak bisa terus menerus hidup dihantui pencaplokan lahan dan konflik dengan PT. Toba Pulp Lestari. Menurutnya, berdasarkan kasus penangkapan tersebut, warga Sihaporas sudah memohon kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk merevisi izin konsesi PT. Toba Pulp Lestari.
Sementara itu, biro organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Hengky Manalu menerangkan, penangkapan yang disertai kekerasan terhadap lima warga Sihaporas tidak terlepas dari konflik berlarut antara masyarakat adat Sihaporas dengan PT. Toba Pulp Lestari sejak 1986. Konflik ini dimulai saat kehadiran PT. Toba Pulp Lestari yang mengklaim tanah adat Sihaporas sebagai area konsesi.
“Namun akumulasi perjuangan yang panjang ini (disebabkan) tidak adanya pengakuan terhadap masyarakat adat sampai saat ini, sehingga di lapangan rentan konflik dengan pihak perusahaan,” tutur Hengky, Senin (29/7).
Hengky menilai, polisi sudah berlaku tidak adil dalam konflik ini. Soalnya, ketika masyarakat adat Sihaporas melapor, sangat lama direspons. Hal ini berbeda kalau pihak PT. Toba Pulp Lestari yang melapor.
“Menurut kami, ini bentuk kriminalisasi untuk membungkam perjuangan masyarakat adat,” ucap Hengky.
Sejauh ini, AMAN sedang fokus melakukan pendampingan hukum terhadap korban yang ditahan Polres Simalungun. Selain itu, dia juga sedang berusaha mengadvokasi agar ada pengakuan terhadap masyarakat adat Sihaporas.
“Dari segi upaya advokasi pengakuan terhadap masyarakat adat, masih dilakukan dengan bertemu DPRD Simalungun, menyampaikan persoalan ini kepada Komnas HAM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tutur Hengky.
Dia mengatakan, semua pendamping hukum masyarakat adat Sihaporas sudah membuat aduan mengenai kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian kepada Komnas HAM.
Intinya, kata dia, memohon agar ada perlindungan bagi para korban yang ditangkap dan menyelidiki adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat, serta memberikan rekomendasi kepada Kapolda Sumatera Utara dan Kapolres Simalungun supaya menghentikan segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi kepada masyarakat adat Sihaporas.
Terpisah, dihubungi pada Senin (29/7), komisioner Komnas HAM Hari Kurniawan mengatakan, akan menindaklanjuti aduan dari komunitas masyarakat adat Sihaporas, dengan mengacu pada rekomendasi Komnas HAM terhadap konflik warga Sihaporas dan PT. Toba Pulp Lestari.
“Respons kita nanti akan ditangani pemantauan dan sudah ada rekomendasi dari Komnas HAM di periode sebelumnya,” ujar Hari, yang akrab disapa Cak Wawa itu.
“Kami akan memantau sejauh mana rekomendasi sudah dilaksanakan.”