Skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) memicu perdebatan tata kelola kelistrikan bagi pengguna listrik. Power wheeling adalah mekanisme yang mengizinkan pihak swasta atau independent power producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual secara langsung kepada masyarakat melakui jaringan transmisi Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Skema tersebut dianggap bisa memicu privatisasi listrik, yang mendorong harga listrik menyesuaikan mekanisme pasar yang tidak dimonopoli PLN. Bukan tidak mungkin, harganya bisa melonjak.
Di sisi lain, skema power wheeling dipandang bisa mendorong pihak swasta turut andil percepatan transisi energi terbarukan, yang dapat memberi pemasukan bagi PLN karena swasta membayar sewa transmisi kepada PLN.
Beberapa waktu lalu, DPR sendiri menyetujui perpanjangan pembahasan RUU EBET hingga persidangan 1 tahun sidang 2024/2025 mendatang.
Anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menolak usul pemerintah memasukkan skema power wheeling dalam RUU EBET. Alasannya, walau power wheeling memberi peluang sewa jaringan transmisi PLN kepada pihak swasta, tetapi skema itu memiliki implikasi membuat pihak pembangkit listrik swasta bisa menjual listrik secara langsung kepada pengguna, dengan mengambil peran PLN.
Menurut Mulyanto, power wheeling membuat PLN tidak bisa lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller, namun ada banyak pihak swasta yang membeli dan menjual listrik, serta membentuk multi buter and multi seller system. Artinya, pengusahaan listrik tidak lagi hanya dimonopoli PLN, tetapi diliberalisasi kepada pihak swasta, dengan mengikuti mekanisme pasar.
Imbasnya, kata Mulyanto, power wheeling bisa menjadikan listrik sebagai komoditas pasar, yang pengusahaannya dilakukan orang-per orang dan harganya ditentukan pula oleh mekanisme pasar.
Mulyanto menilai, pengelolaan listrik negara semestiknya dilakukan negara, dengan kepentingan kemaslahatan rakyat, sebagai mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
“Itu sebabnya kenapa dua kali MK (Mahkamah Konstitusi) melakukan JR (judicial review) pada tahun 2003 terhadap UU Nomor 20 Tahun 2002 (tentang ketenagalistrikan) dan tahun 2015 terhadap UU Nomor 30 Tahun 2009 yang ujungnya menolak prinsip unbundling (pemisahan) dan menegaskan sektor ketenagalistrikan harus dikuasai oleh negara,” ucap Mulyanto kepada Alinea.id, Selasa (9/7).
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, skema power wheeling bisa merugikan pengguna listrik sekaligus PLN. Sebab, perusahaan listrik swasta dapat melakukan liberalisasi harga terhadap listrik lantaran disesuaikan dengan mekanisme pasar.
“Ketika demand lebih tinggi, tapi suplai rendah, (maka) harga (akan) tinggi. Ini akan memberatkan konsumen,” ujar Fahmy, Selasa (9/7).
“Jadi, dampak liberalisasi kelistrikan dari power wheeling itu, pertama melanggar konstitusi. Kemudian akan merugikan negara. Ketiga, akan merugikan rakyat sebagai konsumen.”
Sedangkan Direktur Eksekutif Institute Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, bila skema power wheeling bisa mendorong percepatan transisi listrik energi baru energi terbarukan (EBET). Dia menilai, percepatan listrik EBET tidak bisa dilakukan jika pelaksana tenaga listrik hanya dimonopoli PLN.
“Selain itu, PLN juga sebenarnya bisa mendapat pendapatan tambahan dari skema ini karena ada sewa transmisi PLN oleh swasta,” tutur Fabby, Selasa (9/7).
“Ini juga harus dibuat khusus energi baru dan energi terbarukan. Jadi tidak akan mengambil market dari PLN.”
Kekhawatiran skema power wheeling bakal membuka ruang privatisasi dan memicu tingginya harga pasar, menurut Fabby, dapat diantisipasi dengan menetapkan batasan mekanisme harga listrik yang dijual pihak swasta dan sewa transmisi PLN.
“Tapi aturan itu juga harus memperjelas tanggung jawab biaya keandalan transmisi. Sebab, PLN juga rugi kalau ini juga tidak dihitung,” ujar dia.
“Selain itu, skema power wheeling ini dikunci saja di undang-undang khusus untuk EBET, tidak untuk semua pembangkit.”
Menurut Fabby, upaya untuk dekarbonisasi tidak bisa hanya dilakukan negara. Melainkan perlu pihak-pihak lain. Melalui power wheeling ini, kata dia, dekarbonisasi bisa dilakukan lebih cepat, dengan pijakan aturan yang lebih terarah agar tidak sampai terjadi privatisasi.
"Semisal pihak swasta jual listrik kepada perusahan, tapi sewa aset transmisi milik PLN," ucap Fabby.