Kenapa di jalan tol Cipularang kilometer 90-an sering terjadi kecelakaan?
Setidaknya 28 orang luka dan satu tewas usai terjadi kecelakaan beruntun yang melibatkan 21 mobil di jalan tol Cipularang arah Bandung menuju Jakarta kilometer (km) 92 pada Senin (11/11) sore. Insiden tersebut diduga terjadi karena sebuah truk yang mengalami rem blong, sehingga menabrak kendaraan di depannya. Selain kecelakaan pada Senin kemarin, beberapa insiden pernah terjadi di kilometer 90-an tol Cipularang.
Kecelakaan apa saja yang terjadi?
Di tol Cipularang km 90-100 kerap terjadi kecelakaan yang memakan korban jiwa. Misalnya, kecelakaan di tol Cipularang km 91 pada Senin (2/9/2019) lalu, yang melibatkan 20 kendaraan. Akibatnya, delapan orang meninggal dunia. Lalu, pada Senin (13/1/2020) kecelakaan terjadi di KM 92 tol Cipularang, melibatkan mobil elf dan truk. Dua penumpang tewas dalam insiden itu.
Kemudian, kecelakaan yang menyebabkan kemacetan panjang di km 91-97 tol Cipularang pada 15 Oktober 2021. Seorang tewas dalam kecelakaan antara truk kontainer dan mobil minibus tersebut. Pada Minggu (26/6/2022) terjadi pula kecelakaan beruntun yang melibatkan 17 kendaraan di tol Cipularang km 92. Sebanyak 20 orang luka-luka karena insiden tersebut. Istri penyanyi dangdut Saipul Jamil, yani Virginia Anggraeni juga menjadi korban dalam kecelakaan tunggal di tol Cipularang km 96 pada Sabtu (3/9/2011).
Apa penyebab kecelakaan sering terjadi?
Dalam sebuah wawancara pada 2019, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) waktu itu, Budi Setiyadi mengatakan, kemungkinan kecelakaan di tol Cipularang, terutama kilometer 90-an, terjadi karena geometrik jalan yang tak biasa. Geometrik jalan adalah bentuk atau ukuran jalan.
Menurutnya, dari sisi geometrik jalan memang agak menikung dan menurun. Terutama dari aeah Bandung menuju Jakarta, kata Budi, kecenderungan kendaraan akan memacu kecepatan. Padahal jalannya menikung.
Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Budi Susandi dalam wawancara dengan Kompas TV pada Selasa (3/9/2019) mengatakan, jalur tersebut turunannya panjang, sehingga pengemudi harus berhati-hati. Selain itu, disebut pula faktor kelalaian pengemudi yang melanggar batas kecepatan.
Menurut penelitian dari Jurusan Teknik Sipil, Universitas Jenderal Achmad Yani yang dimuat di Jurnal Teknik (2019), dari data yang dianalisis dengan metode pembobotan Korps Lalu Lintas (Korlantas), lokasi blacklink dan blackspot di tol Cipularang paling tinggi di km 91-93.
Dari aspek geometrik jalan, terdapat tiga tikungan pada km 91-93, yang menurut para peneliti, berdasarkan evaluasi sudah memenuhi spesifikasi ditinjau dari radius tikungan, kelandaian, dan jarak pandang. Jenis kecelakaan yang dominan, antara lain kecelakaan tunggal dan tabrak depan-belakang karena pengemudi yang kurang antisipasi.
Menurut riset Robby Yudo Purnomo dan Tri Tjahjono dari teknik sipil Universitas Indonesia (UI) serta Aswin Azhar Siregar dari Polri yang terbit di Journal of Indonesia Road Safety
(2020) ruas tol Cipularang km 90-100 punya kemiringan lebih dari 7%. Artinya, melebihi batas kemiringan maksimum yang diizinkan standar Direktorat Jenderal Bina Marga, yakni 6% untuk jalan dengan desain kecepatan 80 kilometer per jam dan tanjakan kritis 500 meter.
Robby dan koleganya menyebut, dalam alinyemen—bagian dari geometrik jalan yang berkaitan dengan perencanaan tikungan, tanjakan, dan turunan—horizontal, ruas tol Cipularang sudah memenuhi standar Bina Marga. Namun, koordinat antara alinyemen vertikal dan horizontal belum dirancang dengan baik. Terdapat bagian tikungan dengan kemiringan yang besar, yang bisa memicu terjadinya kecelakaan.
Selain itu, menurut Robby dan kawan-kawan, terjadinya kecelakaan di km 90-an juga karena kecepatan kendaraan. Berdasarkan pengamatan mereka, pada jalan menurun di km 91 kecepatan kendaraan berat rata-rata mencapai 83,5 kilometer per jam. Angka itu cukup tinggi, mengingat kondisi jalan yang geometrinya menurun. Jika pengemudi tidak bisa mengerem dengan baik, maka kemungkinan besar terjadi kecelakaan.
Lantas, di km 93 terdapat sekitar 92% kendaraan berat yang lintas berada di bawah batas kecepatan minimum, rata-rata 37 kilometer per jam. Sementara pada segmen yang sama, 10% kendaraan ringan mencapai kecepatan 85 kilometer per jam. Menurut Robby dan kawan-kawan, perbedaan signifikan ini cukup berbahaya jika terjadi kecelakaan.
Robby dan koleganya menyimpulkan, peningkatan kecepatan rata-rata kendaraan ringan dapat menambah risiko kecelakaan sebesar 12% (semua jenis kecelakaan) dan 22% (kecelakaan fatal). Sebab, ada hubungan yang signifikan antara kecepatan tinggi dan kecelakaan fatal. Sedangkan untuk kendaraan berat, peningkatan kecepatan berdampak pada risiko kecelakaan sekitar 14% (semua jenis kecelakaan) dan 23% (kecelakaan fatal).
Bagaimana mencegah kecelakaan?
Para peneliti dari Universitas Jenderal Achmad Yani mengusulkan penanganan daerah blackspot di tol Cipularang km 91-93 dengan menambah, merelokasi, dan menyempurnakan rambu-rambu peringatan, pengarah, dan sebagainya. Lalu, meningkatkan fasilitas jalan, seperti pengecatan marka jalan, pemasangan guard rail pada daerah sebelum dan sesudah jembatan, serta membuat kebijakan yang bisa menekan tingkat kecelakaan di lokasi itu.
Sementara itu, Robby dkk dalam Journal of Indonesia Road Safety menulis, jika pengemudi mematuhi ambang batas kecepatan di bawah 80 kilometer per jam, kemungkinan kecelakaan bakal berkurang. Karenanya, batas kecepatan akan sangat berpengaruh dalam upaya pencegahan kecelakaan.
Untuk mencegah kecelakaan, Robby dan rekan-rekannya juga merekomendasikan penerapan sistem deteksi insiden jalan tol dan sinyal otomatis sebagai sistem tol pintar, pembuatan marka chevron di sepanjang jalan tol, dan pembangunan jalur evakuasi untuk mengantisipasi kegagalan pengereman kendaraan.