close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi gangguan kesehatan mental. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi gangguan kesehatan mental. /Foto Pixabay
Peristiwa
Selasa, 04 Maret 2025 12:22

Kenapa personel TNI rentan bunuh diri?

Perlu ada seleksi ketat untuk memastikan calon personel TNI punya mental kuat dan tak mudah depresi.
swipe

Kasus bunuh diri di kalangan personel TNI kembali terjadi. Teranyar, seorang personel TNI berinisial Serka INS (48) ditemukan tewas di bengkel senjata Detasemen Peralatan (Denpal) IX/3 Singaraja, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, Rabu (26/2). 

Serka INS diduga bunuh diri dengan menembakkan pistol ke kepalanya. Hingga kini belum jelas motif Serka INS mengakhiri hidupnya. Namun, pihak TNI saat ini telah membentuk tim investigasi untuk mengusut kejadian tersebut. 

Januari lalu, anggota Kodim 1627 Rote Ndao berinisial Pratu AT ditemukan tewas gantung diri di sebuah pohon asam di Kelurahan Mokdale, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT). AT diduga nekat mengakhiri hidupnya karena tuntutan mahar orang tua pacarnya senilai Rp250 juta.

Sepanjang 2024, kasus-kasus bunuh diri di kalangan personel TNI juga rutin diberitakan. Yang paling fenomenal ialah kasus bunuh diri Letnan Satu (Lettu) Eko Damara di Yahukimo, Papua Pegunungan pada 27 April 2024.

Dari hasil penyidikan, Lettu Eko tewas setelah menembak dirinya sendiri dengan senjata SS2 Varian 1. Personel TNI Angkata Laut (AL) itu diduga kuat mengakhiri hidup karena terlilit utang hingga Rp819 juta.

Spesialis kejiwaan Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS Unair) dr Brihastami Sawitri merinci sejumlah faktor yang menyebabkan personel TNI rawan bunuh diri. Pertama, ialah munculnya ganguan kesehatan mental akibat paparan terhadap pertempuran, kekerasan atau peristiwa traumatis.

"Kedua, adalah depresi dan kecemasan. Stres kronis, perasaan putus asa, dan kurangnya mekanisme untuk mengatasi persoalan mental dapat berkontribusi terhadap risiko bunuh diri," kata Brihastami kepada Alinea.id, Senin (3/3).

Personel TNI yang mengalami stres atau depresi, menurut Brihastami, kerap melarikan diri dari persoalan dengan mabuk-mabukan atau mengonsumsi narkoba. Namun, langkah itu malah kerap jadi blunder. "Ini meningkatkan impulsivitas dan perilaku bunuh diri," kata Brihastami.

Stres karena paparan terhadap peristiwa-peristiwa tragis atau kekerasan saat pertempuran bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Seiring itu, tekanan terhadap mental personel TNI potensial berlipat ganda lantaran ditugaskan di tempat yang jauh dari keluarga. 

Brihastami mengatakan lingkungan kerja personel TNI yang penuh tekanan dan disiplin ketat juga dapat menyebabkan tekanan mental yang berat. Apalagi, ada budaya militer yang seolah menstigmasisasi personel yang butuh bantuan psikolog sebagai orang yang lemah atau tidak layak bertugas. 

"Masalah pribadi dan sosial seperti, perceraian, putus cinta, atau konflik keluarga dapat menjadi beban emosional yang berat bagi personel militer, terutama saat sedang bertugas. Masalah ekonomi, termasuk tantangan dalam beradaptasi dengan kehidupan sipil di luar militer, dapat meningkatkan stres dan perasaan putus asa," jelas Brihastami. 

Faktor lainnya ialah isolasi sosial. Personel TNI cenderung sulit mempertahankan pertemanan di luar institusi karena gaya hidup militer yang terstruktur. "Selain itu, akses terhadap senjata api yang mudah... Ini meningkatkan kemungkinan upaya bunuh diri," imbuh Brihastami.

Brihastami mengusulkan sejumlah upaya untuk mencegah kasus bunuh diri di kalangan personel TNI berulang. Pertama, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental dan meminimalisasi stigma terhadap masalah kesehatan mental serta pengobatannya bagi personel militer. 

"Kemudian pelatihan manajemen stres untuk personel militer mengenai cara mengelola stres dan mengenali tanda-tanda awal gangguan mental. Kemudian membangun lingkungan yang mendukung di dalam kesatuan untuk mendorong personel saling mendukung dan berbagi masalah yang dihadapi," kata dia. 

Berbarengan dengan itu, Brihastami menekankan pentingnya kalangan prajurit TNI untuk meningkatkan literasi terkait kesehatan mental. Institusi TNI harus memantau dan mengevaluasi upaya pencegahan bunuh diri untuk melindungi kesejahteraan personel TNI, terutama yang laki- laki. 

"Mayoritas kejadian bunuh diri di militer adalah laki-laki, sesuai dengan tren global bahwa angka bunuh diri lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor budaya di mana pria sering kali sulit mengekspresikan emosi atau mencari bantuan saat mengalami tekanan psikologis," kata Brihastami. 

Ilustrasi pelatihan personel Komcad. /Foto Antara

Perketat seleksi 

Guru besar psikologi dari Universitas Indonesia (UI) Rose Mini Agoes Salim mengusulkan agar seleksi personel TNI diperketat. Penguatan seleksi terutama pada aspek-aspek yang terkait kesehatan mental calon personel. 

"Bertugas di TNI bukan suatu yang mudah, mereka harus mengutamakan negara. Pada saat mereka menghadapi masalah yang sifatnya pribadi, maka hal ini yang harus diketahui dan dilihat apakah orang yang menjadi kandidat menjadi seorang tentara mampu untuk menghadapi hal seperti ini," kata Rose kepada Alinea.id, Minggu (2/3). 

Dalam proses penyaringan, menurut Rose, harus dipastikan bahwa calon tentara mampu menghadapi tekanan dan memecahkan masalah besar atau gampang depresi. Pasalnya, dinas militer yang penuh tantangan bisa memicu stres dan kecemasan yang berkepanjangan.

"Bisa menjadi depresi. Itu juga sangat tergantung pada pribadi masing- masing. Namun yang perlu diketahui bahwa untuk bisa mengatasi masalah setiap manusia harus memiliki keterampilan hidup. Keterampilan manusia untuk memiliki fokus terhadap masalah yang dihadapi dan dipecahkan seperti apa dan kontrol terhadap dirinya," kata Rose. 

Rose berpendapat kasus-kasus bunuh diri di kalangan personel TNI bisa diantisipasi jika rekan terdekat atau pimpinan satuan peka melihat tanda-tanda depresi berat pada rekan kerja atau bawahan mereka. Jika bisa tertangani secara dini, ia meyakini kasus bunuh diri personel TNI bisa berkurang. 

"Semisal yang tadinya ceria tiba-tiba dia jadi lebih murung, atau kemudian dia biasanya bisa berinteraksi dengan banyak orang. Seharusnya rekan kerja dan pimpinan bisa peka dan segera mengatasi itu," kata Rose. 
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan