Pika Sasikirana, putri dari Santi Warastuti, meninggal dunia pada 18 Maret 2025. Kepergian Pika diungkap Santi dalam salah satu unggahan akun Instagram pribadinya, @santiwarastutisanti.
"Ananda kembali pulang kepada sang Pencipta... Sungguh patah hati kami. Kami berusaha menyadari bahwa Pika hanyalah titipan," tulis Santi.
Saat menghembuskan nafas terakhirnya, Pika baru berusia 16 tahun. Sejak sepuluh tahun lalu, Pika menderita cerebral palsy atau lumpuh otak akibat ensefalitis Jepang.
Pada 2022, Pika dikenal publik setelah aksi protes Santi di area di area car free day, Jakarta, viral di media sosial. Dalam sebuah foto, terlihat Santi membentangkan sebuah poster. Isi poster itu: "Tolong Anakku Butuh Ganja Medis."
Ganja medis dibutuhkan Santi untuk meredakan sakit yang diderita Pika. Ganja diketahui bisa meredakan kejang-kejang yang lazim dialami para penderita cerebral palsy. Sayangnya, tak ada rumah sakit yang menyediakan ganja medis di Indonesia.
"Kami hanya ingin yang terbaik untuk anak kami. Jika ganja medis dapat membantu Pika, mengapa tidak?” kata Santi dalam sebuah wawancara dengan media massa.
Demi Pika, Santi juga berjuang di jalur konstitusi. Ia tercatat jadi salah satu pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi. Santi ingin ganja medis dikekuarkan dari daftar narkotika golongan I.
Namun, permohonan itu ditolak MK. Dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana tertulis pada putusan nomor 106/PUU-XVIII/2020, MK mendorong penelitian ilmiah terkait ganja medis sebelum diperbolehkan digunakan untuk kesehatan.
Koordinator bidang penanganan kasus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Yosua Octavian mengatakan kepergian Pika seharusnya jadi momentum bagi pemerintah untuk mengebut riset mengenai pemanfaatan cannabis untuk kesehatan.
"Pihak yang penting didesak lagi adalah legislator. Orang yang dibuat untuk mengubah atau merevisi UU tersebut, dalam hal ini DPR. Menurut saya, itu yang penting dilibatkan," kata Yosua kepada Alinea.id, Kamis (20/3).
Sejak putusan MK nomor 106/PUU-XVIII/2020 terbit, menurut Yosua, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) semestinya mengebut penelitian terkait ganja medis. Apalagi, anak penderita lumpuh otak bukan hanya Pika.
"Jadi, dengan meninggalnya Pika, kita juga sedih karena sudah sekian tahun tidak ada eksekusi langsung dari pemerintah," kata Yosua
Di Indonesia, angka prevalensi cerebral palsy berada di kisaran 1 sampai 5 kasus per 1.000 kelahiran hidup. Pada 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada penderita cerebral palsy mencapai 866.770 orang.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai Indonesia semestinya mencontoh negara-negara lain yang sudah melegalkan penggunaan cannabis untuk mengatasi persoalan medis. Ganja medis didistribusikan dalam bentuk ramuan obat dengan persyaratan ketat.
"Ganja sebagai obat tidak bisa dan tidak boleh dalam bentuknya yang original. Selain karena larangan undang-undang, ini juga akan memicu perdagangan narkoba secara terang-terangan karena itu harus dimodifikasi menjadi dalam bentuk obat-obatan," kata Fickar kepada Alinea.id.
Dalam sebuah siaran pers, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan kepergian Pika merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk merevisi kebijakan terkait ganja medis.
“Kita tidak bisa terus mengabaikan kebutuhan anak-anak yang menderita penyakit serius. Ini adalah tanggung jawab kita sebagai bangsa untuk memberikan akses yang layak,” jelas ICJR.