Ketika milenial didapuk jadi petani
Kementerian Pertanian (Kementan) bakal bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk memperkuat program petani milenial. Tujuannya untuk mewujudkan swasembada pangan yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Menurut Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, kerja sama itu berupa peningkatan kemampuan bagi masyarakat yang mendaftar program tersebut.
Andi mengtakan, lewat program petani milenial, diharapkan bisa menarik minat generasi muda, sehingga mau mengelola lahan pertanian, dengan jaminan penghasilan lebih dari Rp10 juta per bulan. Pendapatan itu bukan gaji yang diberikan pemerintah, melainkan proyeksi hasil panen.
“Pendapatan tinggi di atas daripada gaji kalau kita jadi pegawai,” ujar Andi, seperti dikutip dari Antara, Selasa (12/11).
Petani milenial tergabung dalam Brigade Swasembada Pangan yang dibentuk Kementan untuk mewujudkan swasembada pangan. Selain petani milenial, dalam brigade ini terdapat kelompok lintas kementerian, serta anggota TNI dan Polri.
Di sisi lain Kepala Biro Humas Informasi Publik Kementan, Moch. Arief Cahyono menerangkan, perhitungan pendapatan yang diperoleh petani milenial dalam Brigade Swasembada Pangan dapat mencapai lebih dari Rp10 juta per bulan kalau mengelola sawah dengan sistem modern.
Dia menjelaskan, setiap kelompok petani milenial bakal beranggotakan 15 orang, mengelola lahan 200 hektare, dalam jangka waktu lima tahun. Dikutip dari Antara, menurut Arief, dengan produktivitas rata-rata lima ton per hektare, potensi produksi mencapai 1.000 ton gabah kering panen dan asumsi harga gabah Rp6.000 per kilogram, maka total pendapatan kotor petani milenial dapat mencapai Rp6 miliar.
Lalu, setelah dikurangi biaya operasional sebesar Rp19 juta per hektare atau total Rp3,8 miliar untuk lahan 200 hektare, maka perkiraan pendapatan bersih sebesar Rp2,2 miliar. Hasilnya nanti akan dibagi antara petani milenial dan pemilik lahan. Program Brigade Swasembada Pangan menggunakan skema bagi hasil 70:30. Sebesar 70% pendapatan diberikan kepada brigade, sedangkan 30% untuk pemilik lahan.
Ketersediaan lahan dan keseriusan pemerintah
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Dwi Andreas Santosa menilai, program petani milenial dengan upah Rp10 juta per bulan tidak masuk akal. Selain itu, rumah tangga usaha pertanian selama 10 tahun terakhir, menurut Andreas, justru meningkat dari 26 juta pada 2023 menjadi 28 juta pada 2024. Maka, dalih regenerasi, kata dia, tidak tepat.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga usaha pertanian pada 2023 sebanyak 28.419.398 rumah tangga atau turun 8,74% dari tahun 2013 yang sebanyak 26.135.469 rumah tangga. Sementara jumlah usaha pertanian perorangan pada 2023 sebanyak 29.342.202 unit atau turun 7,45% dari tahun 2013 yang sebanyak 31.705.295 unit. Lalu, jumlah petani milenial yang berusia 19-39 tahun pada 2023 sebanyak 6.183.009 orang atau sekitar 21,93% dari seluruh petani di Indonesia.
“Memang sangat besar orang yang sekarang ini bekerja di sektor pertanian. Padahal, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB (produk domestik bruto) semakin lama semakin mengecil, hanya 12% saja,” ujar Andreas kepada Alinea.id, Sabtu (23/11).
“Jadi, justru pertanian saat ini, kalau dari sisi tenaga kerja itu menjadi beban.”
Sementara itu, dari sisi pelaksanaan, di mana Kementan akan membentuk kelompok tani milenial beranggotakan 15 orang yang mengelola 200 hektare lahan, menurut Andreas, sulit diterapkan di Pulau Jawa karena keterbatasan lahan. Jika dilakukan di Pulau Kalimantan dan Papua, kata dia, kualitas lahan belum cocok untuk produksi pertanian berskala besar karena banyak kegagalan proyek pangan di daerah itu.
“Di Jawa kepemilikan lahan yang dikuasai petani hanya 0,2 sampai 0,3 hektare. (Lalu) kebetulan kami di Kalimantan punya pengalaman, ketika itu BUMN pangan minta membantu ikut terlibat dalam food estate,” kata Andreas.
“Saya memberi masukan ke mereka, akhirnya tahun 2020 dan 2021 kami melakukan uji coba. Di Kalimantan Tengah luasnya 93 hektare, kami uji coba berbagai varietas. Teknologi masuk dan mekanisme hasilnya 0,85 ton gabah kering panen per hektare.”
Oleh karena itu, Andreas memandang, dari prakondisi seperti jumlah rumah tangga pertanian yang semakin bertambah dan tidak adanya ketersediaan lahan, maka program petani milenial dengan upah Rp10 juta per bulan kalau dipaksakan hanya akan mendatangkan kerugian.
“Hasil hanya 2 ton per hektare saja itu sudah rugi besar,” ujar Andreas.
“Terkait lahan, Kalimantan seperti itu kondisinya. Padahal, lahan yang kami pakai, tata kelola air sudah ada dan sudah 25 tahun, sehingga ekosistem sekitarnya sudah ekosistem sawah. Sekarang kita beralih ke Merauke, selesai sudah,” ucap Andreas.
Andreas juga pesimis sumber daya kalangan milenial yang disiapkan terjun ke sawah. Sebab, menurut dia, memelihara padi sangat sulit dan membutuhkan ketelatenan.
“Anak-anak muda tiba-tiba kakinya disuruh nyemplung ke sawah. Bagaimana logikanya. Program tersebut bagi saya tidak masuk akal. Jawabannya, pasti gagal,” kata Andreas.
Terpisah, dosen Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura, Askur Rahman mengatakan, program petani milenial dengan pendapatan Rp10 juta per bulan bisa saja tercapai. Asalkan pemerintah berkomitmen serius menjaga harga gabah di tataran petani.
“Selama ini harga gabah anjlok karena komitmen pemerintah masih setengah hati. Ketika petani panen, pemerintah juga buka keran impor dengan berbagai alasan,” ucap Andreas, Sabtu (23/11).
Kemudian, dia menuturkan, pemerintah pun harus konsisten membangun sarana dan prasarana yang mendukung, seperti irigasi, ditopang alat dan mesin pertanian, bila program ini mau berhasil. “Saya meyakini (program petani milenial) bisa (berhasil) dengan syarat, petani serius, pemerintah lebih serius,” ujar Andreas.
“Apalagi dengan adanya rencana perubahan sistem bisnis Bulog (Badan Urusan Logistik).”